Pengikut

Kamis, 06 September 2012

PA DARWIN

Cuaca kali ini begitu cerah, panas dan ah.. membuat cairan yang banyak mengandung garam menetes dengan derasnya, cairan itu mulai menyeruak dari dahi hingga nyaris saja jatuh ke mata, untunglah alis mata yang hitam dan tebal milik pria bernama Deni itu berhasil menangkisnya. Saat ini pria yang mengenakan kaos oblong hitam dipadu dengan jeans pendek itu tengah mengendarai vespa hitam usai mengantar adiknya ke sekolah. Jalanan yang lengang membuat otak pria berumur 24 tahun itu turut lengang, kosong tak menentu. Sejak papanya meninggal, saat itu Deni berusia 18 tahun, Deni kini hidup bertiga dengan mama dan adiknya Tio yang masih TK, Deni tergolong anak yang kaya sewaktu papanya masih hidup, hidup serba berkecukupan, melimpah ruah bahkan. Papanya bekerja di perusahaan swasta yang bergelut di bidang batu bara, tapi yang namanya kehidupan, pastilah ada yang namanya rotasi kehidupan. Sekarang diatas, besok bisa saja dibawah, sekarang bahagia, besok siapa yang tau?, hal itu pula yang tengah menimpanya, perusahaan papanya bangkrut dan lalu papanya mengidap stroke hingga beliau pun meninggal. Sedih?? jangan ditanya lagi, sampai air mata saja tak sanggup keluar waktu itu. Jika harus memilih, tentu Deni lebih memilih menangis dan menjerit sampai puas, bukan tertahan dan menumpuk sesak di dada seperti waktu itu.
&&&
Kali ini Deni tengah berada di bengkelnya,bengkel hadiah ulang tahun dari papanya, sewaktu ia berusia 17 tahun. Memandang kearah liar menunggu pengendara motor mampir memperbaiki motornya dan lalu membangunkannya dari lamunannya. Tapi apa daya, Dewi Fortuna tak berpihak padanya hari ini. Bengkel sudah menjadi tempatnya mengadu nasib setelah papanya meninggal. Saat itu ia memutuskan untuk tak bersekolah, meski mamanya memaksa dan mampu membiayainya, ia tetap pada pendiriannya.
Setelah beberapa menit, munculah seorang pria tua yang biasa mampir ke bengkelnya itu dengan motor vespa bercat kusam yang sama tuanya.
Pagi Pak Darwin..?” sapa Deni hangat.
Pagi..!! gimana bang, dewi fortuna mampir?” tanyanya dengan gaya bahasa yang tidak sekolot umurnya.
Deni hanya tersenyum lalu kembali merapihkan besi-besi dihadapannya.
Ah..bujang yang satu ini, masa neng Dewi ga tertarik sama pria ganteng seperti abang Deni sih? apa perlu bapak yang menggombali Dewi Fortuna supaya mau mampir ke bengkel kamu bang?” katanya mencoba menghibur.
Dan benar saja, tawa Deni pun meledak, ini adalah tawa Deni yang ke sekian, setara dengan hadirnya bapa Darwin di bengkelnya. Deni pun menyerahkan secangkir kopi hitam yang dituang dari termos kecil yang tadi pagi di siapkan mamanya dirumah.
Hanya perlu mengambil hati Dewi Fortuna saja bang Deni...” lanjutnya lagi.
Dan kini mereka tengah duduk di kursi diantara besi-besi tua peralatan bengkel milik Deni.
Hem” Deni hanya berdehem sambil menyeruput kopi hitam yang begitu di gandrunginya.
Mau tau caranya?” tawar pria tua yang juga menyukai kopi.
Deni mengangguk sambil tersenyum.
“CINTA” kata pria tua itu pendek sambil memberi sebatang roko pada Deni.
Kenali dulu pekerjaan kamu, sukai, lalu cinta akan tumbuh. Dan kalo sudah cinta bang Deni, apapun dilakukan, bahkan sampai bekerja keras banting tulang, meskipun pada akhirnya kamu gagal, kamu tidak akan kecewa, karena apa...? jawabannya satu, karena CINTA” katanya panjang.
Pria muda betubuh tinggi itu memperhatikan omongan Pak Darwin dengan serius sampai tak terasa rokok di tangannya kini padam tertiup angin. Lalu Pak Darwin pun kembali menghisap rokoknya sambil mengambil korek gas dikantongnya dan menyalakan puntung rokok ditangan Deni sambil berkata,
”Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian . Bekerjalah dulu, baru berharap, gitu kata Simbah Socrates si bang”, katanya.
 “Jadi jangan patah arang buat gombali neng Dewi Fortuna bang!” lanjut Pa Darwin
Kembali Deni tertawa lepas, setidaknya kini Deni bisa tertawa lapas kembali sejak ia merasa sudah tak ada alasan lagi untuk tertawa setelah papanya meninggal.
&&&
Secangkir kopi telah nangkring di meja halaman rumah milik Deni, dan seorang pria dengan setia menemani secangkir kopi tadi, menunggunya dengan sabar seteguk demi seteguk sambil menumpangkan kaki khas gaya pria dan sesekali memandang kearah jalan yang ukurannya pas untuk 1 kendaraan roda  4 di depan rumahnya yang di komblok. Hari ini hari minggu, dan setiap hari minggu, mamanya melarang anak sulungnya itu untuk pergi kebengkel dan menggunakan semua aktifitas dirumah untuk berkumpul bersama. Sambil sedikit menerawang keatas, dilihatnya mentari yang sedikit malu-malu untuk keluar dari peraduannya, lantas ia tersenyum. Entah, kali ini rasanya ia seperti teringat masa putih abu-abunya yang benar-benar dirasa sangat indah. Ia ingat benar bagaimana  bengalnya ia sewaku SMA dulu. Mulai dari memanjat tembok untuk masuk, membolos, merokok, tawuran, mabuk, dan adu mulut dengan kepala sekolah, semua itu ia lakukan demi yang namanya solidaritas. Ia hanya remaja pria korban dari salah arti mengenai solidaritas dalam persahabatan. Ia bahkan sempat dikeluarkan dari sekolah demi membela sahabatnya yang kepergok mabuk disekolah.
Pria bernama Deni itupun kembali tersenyum sambil mengeluarkan puntung rokok dan menghisapnya. Senyumnya tadi terlihat kecut, tidak seperti senyum karena sesuatu yang menyenangkan, tetapi karena rasa perih dihatinya. Tiba-tiba ia teringat sahabat-sahabatnya yang tak pernah muncul lagi, yang bahkan untuk sekedar menyapanya lewat hanphone, atau sekedar mampir ke bengkel. Tak ada kabar tentang mereka seperti semua terhenti dan putus begitu saja seiring putusnya masa SMA, seperti itukah persahabatan yang telah ia pupuk dari sejak mengenakan putih abu-abu, tak ada lagikah ikatan yang dulu terjalin, kemana janji yang dulu diucap, kemana kata-kata “Gue sahabat lu,dan gue selalu ada buat lu” kini hilang begitu saja. Kini pria itu kembali menghisap puntung rokonya yang tanpa terasa tinggal sepanjang kelingkingnya.
&&&
Siang hari saat ia hendak pergi ke bengkelnya untuk mengambil alat untuk vespanya yang sedang sedikit bermasalah, tiba-tiba ia bertemu dengan pria tua yang begitu dikenalnya itu. “Tutup bang Deni?” katanya menyapa duluan.
Eh Pak, ah biasa, hari minggu Pak, buat keluarga” jawabnya sambil tersenyum.
 Ngopi dulu ah bang den yuuk” tawar Pak Darwin.
 Mereka pun melesat bersama vespa mereka masing-masing menuju warung kopi langganan Pak Darwin yang katanya kopinya uenak pouull. Setibanya disana mereka langsung memesan kopi dan terlibat dalam obrolan mengenai vespa, mesin motor, kopi, quote-quote, filsafat dan kadang sampe nyerempet-nyerempet ke dunia politik segala.
Jadi kalo hari minggu kumpul keluarga?” kata pria yang dipanggil Pak Darwin itu, yang kali ini berada di pinggir jalan dan terduduk di vespa masing-masing.
Deni yang memang terkenal tak banyak bicara itu hanya mengangguk sambil tersenyum. “Bukan buat ngapel bang Den?” sindir Pak Darwin.
Gimana mau ngapel Pak, gombalin Neng Dewi fortuna aja saya payah” katanya mulai membuka guyonan, mereka pun tertawa lepas.
 Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja” kata Pak Darwin.
“Kali ini quotes dari simbah bapak yang mana lagi Pak?” Tanya Deni sambil tersenyum.
 “Simbah dari eyang kakung Bapak, namanya Plato” jawab Pak Darwin sekenaknya.
Dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.
“Mereka itu orang-orang bijak bang, mereka orang-orang luar biasa yang menjalani hidup secara sederhana, itu yang ga kita temui di sini, disini si…cuma ada orang-orang berdasi bang” kata Pak Darwin serius.
Kini sahabat yang setia dan selalu ada menemani Deni setelah vespa kesayangannya adalah Pak Darwin, bukan hanya itu, Pak Drawin juga ia anggap sebagai guru yang mengajari segala macam pelajaran yang tak pernah ia dapatkan diwaktu SMA dulu.
Saya yatim piatu dari kecil dan berjuang hidup sendiri, tapi saya ga pernah lupa untuk tersenyum, setiap hari saya pergi kesana kemari menyibukkan diri, mencari sesuatu yang bisa bikin saya tersenyum, apapun itu! pokonya sehari saya harus tersenyum bang Den” katanya tiba-tiba berkata panjang lebar seolah memberi semangat pada pria muda yang terlihat murung itu.
Jadi itu rahasia awet muda Pak Darwin” kata Deni yang merasa tersentuh itu.
Wah, payah..! kebongkar deh hahhhaha...eh, jadi kapan nih hari minggu dipake buat ngapel bang?” katanya sambil tertawa.
Deni hanya tersenyum.
Mba..” panggil Pak Darwin tiba-tiba pada gadis seusia Deni yang tengah lewat didepan mereka.
Kira-kira menurut mba, abang ini cakep ngga mba?”Tanya Pak Darwin usil sambil menunjuk pada Deni.
Gadis itu hanya tersenyum dan sedikit melirik Deni lalu berjalan kembali.
Senyum tuh bang Den, itu artinya cakep!” katanya mengedip pada Deni.
Deni pun tersenyum sambil menggeleng tak habis pikir pada tingkah gokilnya Pak Darwin tadi.
&&&
Malam itu Deni tak bisa tidur, meski mata begitu ingin terpejam, lalu akhirnya Deni mulai menyalakan radio, mungkin saja ada lagu yang bisa menina bobokan, pikirnya. Dan saat memutar-mutar chanel radio, tiba-tiba terdengar lantunan musik yang sepertinya sangat familiar, ya.. itu adalah anthem of lifenya putih abu-abu dulu. Kami menyanyikan lagu ini bersama-sama, lagu itu kini terdengar dengan gagahnya, ya,,,suara Iwan Fals dengan gitar dan harmonikanya yang begitu indah melantun, dengan judul “belum ada judul” itulah lagu kenangan semasa SMA nya dulu. Dan tak terasa pikiran Deni pun melayang kemasa putih abu-abunya, mencoba menerawang lekat-lekat tiap jengkal peristiwa semasa SMA dalam pekatnya malam diantar semilir angin sampai tiba dialam mimpi.
Pernah kita sama-sama susah                      
terperangkap dingin malam
terjerumus dalam lubang jalanan
digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah

Pernah kita sama sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah
Kau

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati

Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku
Sobat

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati

&&&
Keesokan hari setelah Deni tertidur dengan dibayang-bayangi anthem semasa putih abu-abunya, ia harus kembali melanjutkan rutinitas hidupnya yang membuatnya cukup menikmati dan mengerti arti hidup selama ini. Dan saat tiba dibengkel, ia menunggu sesosok yang begitu ingin dilihatnya setiap pagi, seseorang yang mampu membuatnya merasa perlu untuk berdua dengannya selama berjam-jam, seseorang yang mampu membuatnya begitu antusias mendengarkan tiap titik dan koma dari kata-katanya. Sampai tepat pukul 12.00 orang yang ditunggu tak juga datang menghampirinya, padahal kopi hitam dan rokok sudah siap untuk menemani bincang-bincang mereka. Mungkin pria tua itu sedang sibuk mencari sebuah senyum untuk hari ini, seperti katanya kemarin.
&&&
Sore hari saat Deni hendak pergi ke kedai kopi sebelah bengkelnya, tiba-tiba suara itu muncul, suara yang sedari tadi dinantikan olehnya, suara vespa tua 1970 an yang begitu familiar ditelinganya. Deni pun mencari sumber suara vespa tua itu, dan lalu, benar saja tebakannya bahwa memang suara vespa itu adalah milik pria tua yang sangat ia sukai.
“Pak Darwin!” teriak Deni tak peduli orang-orang tengah menatapnya heran.
“Hey bang Deni” jawabnya sambil tersenyum dan membuat kerutan tanda usianya yang sudah tidak muda lagi.
“Kemana saja pak, saya tunggu di bengkel ko ngga datang-datang?” rengek Deni seperti anak kecil.
“Saya sibuk mencari senyum bang Den” katanya sambil tergelak.
“Kenapa ga cerita-cerita pak? saya kan juga mau mencari senyum” lanjut Deni.
“Serius bang Den? ya..nanti kita berkelana bersama mencari senyum di sudut-sudut dan pojokan tergelap diluar sana” katanya yang mulai lagi dengan gaya bicaranya yang ala filsuf  tengah menelaah makna hidup.
Dan ternyata kedatangan Pak Dawin ke kedai kopi itu untuk membagi sedikit kata-kata mutiara ala filsafat yang sering Deni dengar darinya, dan dengan suara yang menggema khas pria tua, ia mulai mengeluarkan banyolan-banyolan khasnya yang sering ia pamerkan pada Deni, dan tak jarang juga membuat Deni terpingkal-pingkal, Deni hanya menggeleng sambil tersenyum. Kali ini rasanya pa Darwin sedang melakukan stand up komedi, mungkin setelah ini ia akan menerima tropi sebagai peserta stand up komedi dengan julukan The Oldest Man With The Biggest Joker! Deni pun tersenyum membayangkan hal itu. Tiba-tiba Deni kembali tertarik dengan gaya berpakaian Pak Darwin yang sederhana namun tetap terlihat berkarisma, ah…. rasanya ia sangat menggandrungi pria tua didepan panggung itu. Entahlah..atau juga mungkin karena perasaan kehilangan sosok ayah yang sangat dicintainya belum juga sirna. Tiba-tiba saat pikiran Deni melantur kesana-kemari ia tersentak oleh suara yang begitu keras membangunkannya dari dalam lamunan tadi.
“Jaman dulu itu tikus tinggalnya ya di gua-gua, di bolongan tanah, apa lagi pas jamannya Socrates (fisuf), tikus mungkin jadi hama perusak tanaman milik warga. Tapi sekarang ko tikus adalah binatang ter “wah” dari tahun ke tahun, tinggal di hotel bintang lima, duduk di sofa harga triliunan, makan harus pake dessert segala macem lah. Dan yang lebih ngga ngerti lagi adalah tikus-tikus berdasi, dasi ukuran berapa yang pas buat mereka, apa sempet diukur dulu pas jahit?” semua orang tergelak termasuk Deni.
“Koyone aku kudu takon sek karo bapak panglima besar tikuse. Jangan-jangan tahun depan ada tikus berkacamata, tikus bermaskara, tikus berhigh heels, tikus ber tang top, tikus ber hot pant, ckckck sing ono malah unyu-unyu cah…dudu medeni, malah ngko kepenaken cah lanang nek tikus nganggo tang top mbek hot pant” tawa pun kembali terdengar memenuhi ruangan yang bertuliskan kedai kopi NJALUK TULUNG itu.
“Kadang aku juga ndak ngerti dengan istilah seperti tikus-tikus berdasi, yang tadi itu. Semakin banyak saja pengistilahan aneh semacam itu, seperti ada lagi istilah cicak vs buaya. Itu katanya bukan arti sebenarnya to?, hanya sebuah istilah atau simbol untuk mengistilahkan manusia-manusia yang tengah menduduki kursi teratas, katanya loh ya katanya, aku yo wis sepuh, ra ngerti opo-opo. Bukannya mereka itu para petinggi kita, dalam arti mereka itu adalah orang-orang terhormat, tapi ko diistilahke nganggo binatang, berartikan sama dengan membinatangkan manusia nek ngono. Iyo ra??? “ Tanya pa Darwin yang mencoba mengajak diskusi penonton.
“Yoooooo!!!” seru penonton yang semuanya berusia seperti Deni.
“Lah nek ngono berarti manusia saiki wis mendekati dengan insting hewani nya, itu berarti manusia sekarang tidak berbeda jauh dengan….? Dengan apa…?” teriak pa Darwin kembali.
“HEWAAAAAAAAN!!!!!!” jawab penonton sambil teriak.
“Dudu aku lo sing ngomong, dudu aku” katanya sambil tetawa. Dan semuanya turut tertawa, ruangan yang sesak dengan aroma kopi itupun menjadi hangat seketika diisi oleh tawa dari para pngunjung yang kesemuanya adalah anak-anak muda.
Dan setelah itu tiba-tiba secara mengejutkan, Pa Darwin berkata di microfonnya yang sedari tadi ia pegang.
“ Aku punya sahabat, dia itu sahabat terganteng sekaligus termalang yang pernah saya temui” kata Pa Darwin sambil melirik pada pria muda yang terduduk sendirian yang bernama Deni.
“ Malang karena sampai sekarang belum juga mempunyai tambatan hati” lanjut Pak Darwin sambil melirik dan kali ini berkedip pada Deni.
“CIEEEEEEE…..!!!!” sorak penghuni kedai kopi tersebut meledek.
Deni hanya melotot, tak habis pikir kalau malam ini ia dipermalukan oleh seorang pria yang bisa dibilang sudah kakek-kakek itu, benar-benar tak terlintas dipikirannya apalagi terbawa mimpi.
“ Dan..ganteng karena diusianya yang masih muda, ia memilki usaha dan aku yakin dia juga tipikal pria pekerja keras. Namanya Deni, dia sekarang duduk di sudut sana” lanjut Pa Darwin yang tak segan-segan menunjuk kearah Deni sekarang.
Dan semua mata kini tertuju pada Deni, sementara pria bernama Deni itu hanya tersipu malu sambil menggaruk-garuk rambutnya yang sebenarnya tak gatal itu.
“ Oke tanpa basa-basi kita coba panggil sahabat ku yang paling ganteng itu untuk maju kedepan dan mengatakan sesuatu yang ingin ia katakan pada dunia, bang den..ayo naik!” perintah Pa Darwin.
Dan pria muda bernama Deni yang dibuat malu setengah mati itu terdiam sebelum akhirnya terdengar suara “naik..naik..naik!” seperti jaman TK saja pikir Deni yang pada akhirnya harus menyerah dan naik juga. Deni pun melangkah maju kedepan sambil diiringi tepukan dari penghuni kedai kopi tersebut. Saat tiba diatas panggung, PaK Darwin menepuk bahu pria muda yang dipanggilnya tadi sambil membisikkan “tell the world, son!” dan pergi meninggalkan Deni sebelum Deni sempat membalas bisikannya.
‘Em..tes..tes.tess! ngomong apa ya?” kata Deni bingung sambil menggaruk lagi rambutnya yang tak gatal itu.
Penonton alias pengunjung memperhatikan pria bernama Deni itu dengan penuh rasa penasaran.
“Sebenernya gue ga tau musti ngomong apa, tapi tadi ada pak tua ngebisikin gue tell the world, son, katanya. Gue rada bingung, bingung nya kenapa,  gue mikir kapan dia nikahin ibu gue sampe bilang nak (son) segala” kata Deni sambil geleng-geleng.
Seketika pengunjung tertawa terbahak-bahak.
“Ok, gue emang punya sesuatu yang pengen banget gue ungkapin kedunia, udah gue rangkai sedemikian indah tapi seringnya gue bingung, apa dunia bisa ngerti cerita gue? Apa ini waktu yang tepat? Cukup pentingkah diri gue buat diperhatiin dunia? Cukup keraskah suara gue untuk didenger dunia? Banyak banget pertanyaan-pertanyaan semacaem itu yang nyuruh gue buat  berpikir kayaknya gue  bungkam ajalah atau pura-pura jadi orang bisu kayanya lebih aman.  Sampai akhirnya datanglah seorang lelaki yang lebih tepatnya gue sebut malaikat tua yang sekarang ini ngasih gue keberanian buat nyampein rangkaian kata yang udah lama banget gue simpen, sampe-sampe udah mau expair aja  gitu. Dan akhirnya dengan sangat rendah hati dan penuh hormat untuk para penghuni kedai kopi ini dan terspesial untuk pria tua gue (sambil menggerakan tangan membentuk tanda kutip) , CEKIDOOOT..
Tiba-tiba saja, dengan langkah gesit Deni mengambil gitar di belakangnya dan mulai memainkan.
 Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka
berenang di sungai yang kotor
Kisah
usang tikus-tikus berdasi
Yang suka
ingkar janji
Lalu
sembunyi dibalik meja
Teman
sekerja
Didalam
lemari dari baja
Kucing
datang
Cepat
ganti muka
Segera
menjelma
Bagai
tak tercela
Masa
bodoh hilang harga diri
Asal
tidak terbukti ah
Tentu
sikat lagi
Tikus-tikus
tak kenal kenyang
Rakus-rakus
bukan kepalang
Otak
tikus memang bukan otak udang
Kucing
datang
Tikus
menghilang
Kucing-kucing yang kerjanya
molor
Tak
ingat tikus kantor
Datang men-teror
Cerdik
licik
Tikus
bertingkah tengik
Mungkin
karena sang kucing
Pura-pura
mendelik
Tikus
tahu sang kucing lapar
Kasih roti jalan
pun lancar
Memang sial sang tikus teramat pintar
Atau
mungkin sikucing yang kurang
Ditatar !

Satu lagu milik Iwan Fals, musisi kenamaan yang tak hanya mengusung lagu-lagu bertemakan cinta itu mengalun, lagu nya kali ini berjudul Tikus-tikus kantor.
“Kenapa gue nyanyi Iwan Fals, karena memang inilah yang mau gue katakan pada dunia dan cuma disinilah gue bisa bebas bilang dan nyanyi apa aja sesuka gue. Dan kayanya Cuma disini juga deh gue bisa berkoar-koar tanpa harus ada syarat wajib pake embel-embel title dibelakang nama gue. Buktinya tadi kakek-kaek tua pengendara vespa aja bisa kok berteriak JAMAN SEKARANG MANUSIA ITU BLABLABLA tanpa harus ada title segala macem” Deni bercerita penuh semangat.
“Plato pernah bilang, bahwa hanya dengan menjaga keseimbangan dan kesederhanaan sajalah, maka aku dapat mencapai kehidupan yang bahagia atau selaras. Lama merenung dan meresapi kata-kata itu, kayanya berbanding terbalik banget dengan dunia sekarang. Sekarang kayanya harta itu adalah segalanya, semua halal selagi dalam judul atau konteks duit. Meski harus jadi tikus kantor kaya judul lagu barusan, for DUIT ya just DO IT. Miris memang, ditambah lagi sekarang yang namanya kejujuran kayanya cuma sederet kata yang jadi bahan materi di bangku SMP yang ujung-ujungnya bakalan dijadiin bungkus gorengan trus dilempar ketong sampah. Kayanya gue ngga harus mikir sejauh itu deh, itu bukan lahan gue men, gue terlalu cupu buat mikirin hal yang harusnya ditangani cuma sama orang-orang berotak udang, yang otak udang aja masabodo kadang-kadang, kenapa gue yang otaknya jongkok mikirin hal yang berat kaya gitu. Dan dari pada omongan gue yang makin lama makin ngelantur, gue cukupkan sekian saja dari gue, terimakasih banyak gue ucapin buat semua yang udah nganggep gue engga bisu dan yang udah nyempetin telinga kalian buat dengerin joking-joking gue yang terkesan engga mutu, sekali lagi thanks for all” lanjutnya sebagai kalimat penutup.
Sementara Deni turun panggung, tepok tangan pun terdengar begitu meriah dari para pendengar di kedai kopi tersebut.

&&&
Bicara soal kejujuran, apa bener cuma ada di dalam teori belaka? apa bener cuma bikin ancur? Kenapa ko kesannya kalo jujur malah nyusahin? apa bener gitu? atau emang manusia sekarang yang kurang ditatar mengenai kejujuran? Apa mindset kita yang terlalu dangkal dan terkesan berjalan ditempat saja? Entahlah, rasanya tak ada habisnya kalo udah bahas masalah itu, rasanya seperti berjalan memutari bumi yang bulat, sampai kapanpun ga akan pernah ketemu ujungnya.
Ok, kembali bahas masalah perbincangan Deni yang kemarin, inti dari kata-katanya adalah menyinggung masalah politik, ya.. sebut sajalah kasus-kasus manipolitik yang santer dibicarakan akhir-akhir ini, apalagi kalau bukan KORUPSI.  Ada lumayan banyak musisi dan seniman lain yang secara blak-blakan mengkritik kasus korupsi dan bahkan ada yang sampai mengutuk pelaku korupsi dengan beberapa cacian yang tak segan. Sebut saja Iwan Fals, ada beberapa buah judul lagu milik musisi kenamaan yang intinya mengkritik para koruptor, seperti lagu yang dibawakan Deni diatas yang judulnya Tikus-tikus Kantor, dan Politik uang. Bukan hanya musisi senior macan Iwan Fals saja, dari Slank juga ada, judulnya Seperti Para Koruptor. Jika tadi adalah dari para musisi, ada juga yang dari seniman atau budayawan senior kenamaan bernama Sudjiwo Tedjo, salah satu judul bukunya yaitu berjudul “Jiwo J#ancuk” didalam buku itu banyak sekali menyinggung masalah korupsi, misalnya saja di bagian halaman 160-170 dari buku itu.
“Munafik! Munafik! Munafik! Lebih baik ngomong JANCUK tapi gak korupsi, dari pada sopan tapi korupsi. Munafik! Jancuk bangsa ini.”
“Jancuk tuh ketika kalo ada rokok ada pula ‘awas merokok dapat membahayakan…’ tapi kalo ada pejabat ga ada “awas korupsi dapat membahayakan..”
Diatas tadi adalah cuplikan mengenai kritik korupsi yang disampaikan Sudjiwo Tedjo dalam bukunya, menurut Sudjiwo Tedjo, jancuk adalah ungkapan beragam dari kemarahan sampai keakraban, tergantung sikon, seperti FUCK. Tapi orang munafik langsung nyensor, katanya.
&&&
Setelah hari itu, hari dimana Pak Darwin dan Deni bertemu di kedai kopi, Deni tak pernah bertemu dengan Pak Darwin lagi. Tak ada kabar tentang nya, benar-benar tak ada sama sekali. Deni bingung, ini adalah genap 2 minggu setelah pertemuan terakhirnya dengan Pak Darwin di kedai kopi waktu itu. Sangat ingin Deni berkunjung kerumahnya, tapi ia tak tahu dimana rumahnya, sugguh Deni merasa bersalah dan berdosa karena bagaimana bisa rumah sahabat yang begitu ia sukai, tidak ia ketahui. Deni pun merasa sangat tidak becus menjadi sahabat yang Cuma bercerita dan membiarkan orang lain tau masalahnya sendiri, sementara untuk hal sepele dari mereka saja tidak tahu. Deni hanya tak habis pikir, betapa egoisnya ia sebagai manusia. Tak berpikir lama, akhirnya Deni bertanya pada salah satu teman yang juga sering kelihatan ngobrol bersama dengan Pak Darwin dan dari situlah Deni tahu, bahwa ternyata orang yang selalu ada untuknya dan selalu menyemangatinya itu sedang sakit, kabarnya jantungnya kambuh. Kalau yang ini pasti karena rokok, karena Pak Darwin pernah bilang kalau jantungnya rusak karena kebiasaan merokonya yang berlebihan. Akhirnya tanpa berpikir panjang, Deni pun pergi mengunjungi Pak Darwin yang katanya sedang terbaring lemah dirumahnya.
Sesampainya dirumah Pak Darwin, Deni hanya terbengong dan tertunduk tak berdaya melihat apa yang ada dihadapannya. Rumah yang sungguh mungil, terbuat dari anyaman bambu, dan terlihat sangat tua. Sungguh miris, ini lebih pantas dibilang kandang dari pada rumah. Deni pun melangkah ragu, dan sesampainya disana, rumahnya sangat sepi, dan Deni kembali tak percaya pada apa yang dilihatnya, Pria tua yang selalu ceria, mengerti bahasa anak muda, friendly dan murah senyum itu kini terbaring di tempat tidur, tanpa ada seorang pun yang menemainya, tak ada siapa-siapa disampingnya, hanya tumpukan selimut kumal berwarna kuning kecolatan. Dia terbangun dan ah..Deni tak tahan rasanya, suara batuknya yang mulai menunjukan itu adalah penyakit ganas, membuat Deni tak bisa menahan air matanya. Pria tua itu, dengan batuknya yang menjadi-jadi merangkak ditempat tidur berniat untuk mengambil gelas disamping tempat tidurnya. Dan dengan langkah gesit, Deni membantunya, tiba-tiba Pak Darwin melirik kearah Deni kaget.
Merekapun kini terlibat dalam perbincangan dan tak jarang Deni hanya menjadi pendengar dengan mata yang berkaca-kaca. Dilihatnya pria tua itu lekat-lakat, Deni tersenyum melihat ada begitu banyak kerutan di wajah pria tua itu.
“Kenapa bang Den?” Tanya Pak Darwin penasaran                                                        
Denipun hanya tesenyum tak menjawab.
“Baru sadar ya kalo aku ini tua” katanya dengan suara lirih.
Deni kembali tersenyum. Ia tak habis piker pada pria tua dihadapannya itu, sedang sakit saja sempat-sempatnya bercanda. Deni beranjak pergi sebelum akhirnya Pak Darwin tertidur.
&&&
Setelah kejadian kemarin, Deni mengerti apa artinya hidup, apa yang harus ia lakukan pada hidup. Lebih tepatnya kini Deni lebih bisa menghargai hidup, menyikapinya secara bijak dan menghadapi masalah sebagai pria jantan bukan sebagai pengecut. Kini ia sadar bahwa bukan keluarga, sahabat,  dan juga bukan uang, yang akan membantu menyelesaikan masalah, melainkan diri sendiri dan lalu waktu akan berikan jawabannya. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi setiap permasalahan itu, bukan bagaimana kita menyelesaikan masalah itu. Cukup dewasakah kita untuk menyikapi dunia yang lihai permainkan kita? Coba merenungkan dan memahami apa-apa yang ada di sekitar kita dan tetap bersikap positif dalam hidup yang sederhana itu jauh lebih baik dari pada harus mengeluh dan bersitegang dengan hidup. Seperti kutipan di sebuah buku berjudul 5 cm karya Donny Dhirgantoro, yang berbunyi “yang kita perlu sekarang cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdo’a”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar