Cuaca
kali ini begitu cerah, panas dan ah.. membuat cairan yang banyak mengandung
garam menetes dengan derasnya, cairan itu mulai menyeruak dari dahi hingga
nyaris saja jatuh ke mata, untunglah alis mata yang hitam dan tebal milik pria
bernama Deni itu berhasil menangkisnya. Saat ini pria yang mengenakan kaos
oblong hitam dipadu dengan jeans pendek itu tengah mengendarai vespa hitam usai
mengantar adiknya ke sekolah.
Jalanan yang lengang membuat otak pria berumur 24 tahun itu turut lengang,
kosong tak menentu. Sejak papanya meninggal, saat itu Deni berusia 18 tahun, Deni kini hidup
bertiga dengan mama dan adiknya Tio yang masih TK, Deni tergolong anak yang
kaya sewaktu papanya masih hidup, hidup serba berkecukupan, melimpah ruah
bahkan. Papanya bekerja di perusahaan swasta yang bergelut di bidang batu bara,
tapi yang namanya kehidupan, pastilah ada yang namanya rotasi kehidupan.
Sekarang diatas, besok bisa saja dibawah, sekarang bahagia, besok siapa yang
tau?, hal itu pula yang tengah menimpanya, perusahaan papanya bangkrut dan lalu
papanya mengidap stroke hingga beliau pun meninggal. Sedih?? jangan ditanya lagi,
sampai air mata saja tak sanggup keluar waktu itu. Jika harus memilih,
tentu Deni lebih memilih menangis dan menjerit sampai puas, bukan tertahan dan
menumpuk sesak di dada seperti waktu itu.
&&&
Kali
ini Deni tengah berada di bengkelnya,bengkel hadiah ulang tahun dari papanya,
sewaktu ia berusia 17 tahun. Memandang
kearah liar menunggu pengendara motor mampir memperbaiki motornya dan lalu membangunkannya
dari lamunannya. Tapi apa daya, Dewi Fortuna tak berpihak padanya hari ini.
Bengkel sudah menjadi tempatnya mengadu nasib setelah papanya meninggal. Saat
itu ia memutuskan untuk tak bersekolah, meski mamanya memaksa dan mampu
membiayainya, ia tetap pada pendiriannya.
Setelah
beberapa menit, munculah seorang pria tua yang biasa mampir ke bengkelnya itu dengan
motor vespa bercat kusam yang sama tuanya.
“Pagi Pak Darwin..?” sapa Deni
hangat.
“Pagi..!! gimana bang, dewi
fortuna mampir?” tanyanya dengan gaya bahasa yang tidak sekolot umurnya.
Deni
hanya tersenyum lalu kembali merapihkan besi-besi dihadapannya.
“Ah..bujang yang satu
ini, masa neng Dewi ga tertarik sama pria ganteng seperti abang Deni sih? apa
perlu bapak
yang menggombali Dewi Fortuna supaya mau mampir ke bengkel kamu bang?” katanya mencoba
menghibur.
Dan
benar saja, tawa Deni pun meledak, ini adalah tawa Deni yang ke sekian, setara
dengan hadirnya bapa Darwin di bengkelnya. Deni pun menyerahkan secangkir kopi
hitam yang dituang dari termos kecil yang tadi pagi di siapkan mamanya dirumah.
“
Hanya perlu mengambil
hati Dewi Fortuna saja bang Deni...” lanjutnya lagi.
Dan kini mereka tengah
duduk di kursi diantara besi-besi tua peralatan bengkel milik Deni.
“
Hem” Deni hanya berdehem
sambil menyeruput kopi hitam yang begitu di gandrunginya.
“Mau tau caranya?” tawar
pria tua yang juga menyukai kopi.
Deni
mengangguk sambil tersenyum.
“CINTA”
kata pria tua itu pendek sambil memberi sebatang roko pada Deni.
“Kenali dulu pekerjaan
kamu, sukai, lalu cinta akan tumbuh. Dan kalo sudah cinta bang Deni, apapun
dilakukan, bahkan sampai bekerja keras banting tulang, meskipun pada akhirnya
kamu gagal, kamu tidak akan kecewa, karena apa...? jawabannya satu, karena
CINTA” katanya
panjang.
Pria muda betubuh tinggi
itu memperhatikan omongan Pak Darwin dengan serius
sampai tak terasa rokok di tangannya kini padam tertiup angin. Lalu Pak Darwin pun kembali
menghisap rokoknya sambil mengambil korek gas dikantongnya dan menyalakan puntung
rokok ditangan Deni sambil berkata,
”Cobalah
dulu, baru
cerita. Pahamilah dulu, baru
menjawab. Pikirlah dulu,
baru
berkata. Dengarlah
dulu, baru
beri penilaian . Bekerjalah
dulu, baru
berharap, gitu kata Simbah Socrates si bang”, katanya.
“Jadi jangan
patah arang buat gombali neng Dewi Fortuna bang!” lanjut Pa Darwin
Kembali Deni tertawa lepas,
setidaknya kini Deni bisa tertawa lapas kembali sejak ia merasa sudah tak ada
alasan lagi untuk tertawa setelah papanya meninggal.
&&&
Secangkir
kopi telah nangkring
di meja halaman rumah milik Deni, dan seorang pria dengan setia menemani
secangkir kopi tadi, menunggunya dengan sabar seteguk demi seteguk sambil
menumpangkan kaki khas gaya pria dan sesekali memandang kearah jalan yang
ukurannya pas untuk 1 kendaraan roda 4
di depan rumahnya yang di komblok. Hari ini hari minggu, dan setiap hari minggu,
mamanya melarang anak sulungnya itu untuk pergi kebengkel dan menggunakan semua
aktifitas dirumah untuk berkumpul bersama. Sambil sedikit menerawang keatas,
dilihatnya mentari yang sedikit malu-malu untuk keluar dari peraduannya, lantas
ia tersenyum. Entah,
kali ini rasanya ia seperti teringat masa putih abu-abunya yang benar-benar
dirasa sangat indah. Ia ingat benar bagaimana bengalnya ia sewaku SMA dulu. Mulai dari
memanjat tembok untuk masuk, membolos, merokok, tawuran, mabuk, dan adu mulut dengan
kepala sekolah, semua itu ia lakukan demi yang namanya solidaritas. Ia hanya
remaja pria korban dari salah arti mengenai solidaritas dalam persahabatan. Ia
bahkan sempat dikeluarkan dari sekolah demi membela sahabatnya yang kepergok
mabuk disekolah.
Pria
bernama Deni itupun kembali tersenyum sambil mengeluarkan puntung rokok dan
menghisapnya. Senyumnya tadi terlihat kecut, tidak seperti senyum karena
sesuatu yang menyenangkan, tetapi karena rasa perih dihatinya. Tiba-tiba ia
teringat sahabat-sahabatnya yang tak pernah muncul lagi, yang bahkan untuk
sekedar menyapanya lewat hanphone, atau sekedar mampir ke bengkel. Tak ada
kabar tentang mereka seperti semua terhenti dan putus begitu saja seiring
putusnya masa SMA, seperti itukah persahabatan yang telah ia pupuk dari sejak
mengenakan putih abu-abu, tak ada lagikah ikatan yang dulu terjalin, kemana janji
yang dulu diucap, kemana kata-kata “Gue
sahabat lu,dan gue selalu ada buat lu”
kini hilang begitu saja. Kini pria itu kembali menghisap puntung rokonya yang
tanpa terasa tinggal sepanjang kelingkingnya.
&&&
Siang
hari saat ia hendak pergi ke
bengkelnya
untuk mengambil alat untuk vespanya yang sedang sedikit bermasalah, tiba-tiba
ia bertemu dengan pria tua yang begitu dikenalnya itu. “Tutup bang Deni?”
katanya menyapa duluan.
“Eh Pak, ah biasa, hari minggu
Pak, buat keluarga”
jawabnya sambil tersenyum.
“Ngopi
dulu ah bang den yuuk” tawar Pak
Darwin.
Mereka pun melesat bersama vespa mereka
masing-masing menuju warung kopi langganan Pak Darwin yang katanya
kopinya uenak pouull. Setibanya disana mereka langsung memesan kopi dan
terlibat dalam obrolan mengenai vespa, mesin motor, kopi, quote-quote, filsafat dan kadang sampe nyerempet-nyerempet ke
dunia politik segala.
“Jadi kalo hari minggu
kumpul keluarga?” kata pria yang dipanggil Pak Darwin itu, yang kali ini berada di
pinggir jalan dan terduduk di vespa masing-masing.
Deni
yang memang terkenal tak banyak bicara itu hanya mengangguk sambil tersenyum. “Bukan buat ngapel bang
Den?” sindir Pak Darwin.
“Gimana mau ngapel Pak, gombalin Neng Dewi
fortuna aja saya payah” katanya mulai membuka guyonan, mereka pun tertawa
lepas.
“Orang
yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja” kata Pak Darwin.
“Kali ini quotes dari simbah bapak yang mana lagi Pak?”
Tanya Deni sambil tersenyum.
“Simbah dari
eyang kakung Bapak, namanya Plato” jawab Pak Darwin sekenaknya.
Dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.
“Mereka itu orang-orang bijak bang, mereka orang-orang
luar biasa yang menjalani hidup secara sederhana, itu yang ga kita temui di
sini, disini si…cuma ada orang-orang berdasi bang” kata Pak Darwin serius.
Kini
sahabat yang setia dan selalu ada menemani Deni setelah vespa kesayangannya
adalah Pak Darwin, bukan hanya
itu, Pak Drawin juga ia anggap sebagai
guru yang mengajari segala macam pelajaran yang tak pernah ia dapatkan diwaktu
SMA dulu.
“Saya yatim piatu dari
kecil dan berjuang hidup sendiri, tapi saya ga pernah lupa untuk tersenyum,
setiap hari saya pergi kesana kemari menyibukkan diri, mencari sesuatu yang
bisa bikin saya tersenyum, apapun itu! pokonya sehari saya harus tersenyum bang
Den” katanya tiba-tiba berkata panjang lebar seolah memberi semangat pada pria
muda yang terlihat murung itu.
“Jadi itu rahasia awet muda
Pak Darwin” kata Deni yang merasa tersentuh
itu.
“Wah, payah..! kebongkar deh hahhhaha...eh, jadi kapan nih hari
minggu dipake buat ngapel bang?”
katanya sambil tertawa.
Deni
hanya tersenyum.
“Mba..” panggil Pak Darwin tiba-tiba pada
gadis seusia Deni yang tengah lewat didepan
mereka.
“Kira-kira menurut mba, abang ini cakep ngga
mba?”Tanya Pak Darwin usil
sambil menunjuk pada Deni.
Gadis
itu hanya tersenyum dan sedikit melirik Deni lalu berjalan kembali.
“Senyum tuh bang Den, itu
artinya cakep!” katanya mengedip pada Deni.
Deni
pun tersenyum sambil menggeleng tak habis pikir pada tingkah gokilnya Pak Darwin tadi.
&&&
Malam itu Deni tak bisa tidur, meski mata begitu ingin
terpejam, lalu akhirnya Deni mulai menyalakan radio, mungkin saja ada lagu yang
bisa menina bobokan, pikirnya. Dan saat memutar-mutar chanel radio, tiba-tiba
terdengar lantunan musik yang sepertinya sangat familiar, ya.. itu adalah
anthem of lifenya putih abu-abu dulu. Kami menyanyikan lagu ini bersama-sama,
lagu itu kini terdengar dengan gagahnya, ya,,,suara Iwan Fals dengan gitar dan
harmonikanya yang begitu indah melantun, dengan judul “belum ada judul” itulah
lagu kenangan semasa SMA nya dulu. Dan tak terasa pikiran Deni pun melayang
kemasa putih abu-abunya, mencoba menerawang lekat-lekat tiap jengkal peristiwa
semasa SMA dalam pekatnya malam diantar semilir angin sampai tiba dialam mimpi.
Pernah kita sama-sama susah
terperangkap dingin malam
terjerumus dalam lubang jalanan
digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah
Pernah kita sama sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah
Kau
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku
Sobat
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati
terperangkap dingin malam
terjerumus dalam lubang jalanan
digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah
Pernah kita sama sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah
Kau
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku
Sobat
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati
&&&
Keesokan hari setelah Deni tertidur dengan
dibayang-bayangi anthem semasa putih abu-abunya, ia harus kembali melanjutkan
rutinitas hidupnya yang membuatnya cukup menikmati dan mengerti arti hidup
selama ini. Dan saat tiba dibengkel, ia menunggu sesosok yang begitu ingin
dilihatnya setiap pagi, seseorang yang mampu membuatnya merasa perlu untuk
berdua dengannya selama berjam-jam, seseorang yang mampu membuatnya begitu
antusias mendengarkan tiap titik dan koma dari kata-katanya. Sampai tepat pukul
12.00 orang yang ditunggu tak juga datang menghampirinya, padahal kopi hitam
dan rokok sudah siap untuk menemani bincang-bincang mereka. Mungkin pria tua
itu sedang sibuk mencari sebuah senyum untuk hari ini, seperti katanya kemarin.
&&&
Sore hari saat Deni hendak pergi ke kedai kopi sebelah
bengkelnya, tiba-tiba suara itu muncul, suara yang sedari tadi dinantikan
olehnya, suara vespa tua 1970 an yang begitu familiar ditelinganya. Deni pun
mencari sumber suara vespa tua itu, dan lalu, benar saja tebakannya bahwa
memang suara vespa itu adalah milik pria tua yang sangat ia sukai.
“Pak Darwin!” teriak Deni tak peduli orang-orang
tengah menatapnya heran.
“Hey bang Deni” jawabnya sambil tersenyum dan membuat
kerutan tanda usianya yang sudah tidak muda lagi.
“Kemana saja pak, saya tunggu di bengkel ko ngga datang-datang?”
rengek Deni seperti anak kecil.
“Saya sibuk mencari senyum bang Den” katanya sambil
tergelak.
“Kenapa ga cerita-cerita pak? saya kan juga mau
mencari senyum” lanjut Deni.
“Serius bang Den? ya..nanti kita berkelana bersama
mencari senyum di sudut-sudut dan pojokan tergelap diluar sana” katanya yang
mulai lagi dengan gaya bicaranya yang ala filsuf tengah menelaah makna hidup.
Dan ternyata kedatangan Pak Dawin ke kedai kopi itu untuk
membagi sedikit kata-kata mutiara ala filsafat yang sering Deni dengar darinya,
dan dengan suara yang menggema khas pria tua, ia mulai mengeluarkan banyolan-banyolan
khasnya yang sering ia pamerkan pada Deni, dan tak jarang juga membuat Deni
terpingkal-pingkal, Deni hanya menggeleng sambil tersenyum. Kali ini rasanya pa
Darwin sedang melakukan stand up komedi, mungkin setelah ini ia akan menerima
tropi sebagai peserta stand up komedi dengan julukan The Oldest Man With The Biggest Joker! Deni pun tersenyum
membayangkan hal itu. Tiba-tiba Deni kembali tertarik dengan gaya berpakaian Pak
Darwin yang sederhana namun tetap terlihat berkarisma, ah…. rasanya ia sangat
menggandrungi pria tua didepan panggung itu. Entahlah..atau juga mungkin karena
perasaan kehilangan sosok ayah yang sangat dicintainya belum juga sirna.
Tiba-tiba saat pikiran Deni melantur kesana-kemari ia tersentak oleh suara yang
begitu keras membangunkannya dari dalam lamunan tadi.
“Jaman dulu itu tikus tinggalnya ya di gua-gua, di
bolongan tanah, apa lagi pas jamannya Socrates (fisuf), tikus mungkin jadi hama
perusak tanaman milik warga. Tapi sekarang ko tikus adalah binatang ter “wah”
dari tahun ke tahun, tinggal di hotel bintang lima, duduk di sofa harga
triliunan, makan harus pake dessert segala macem lah. Dan yang lebih ngga
ngerti lagi adalah tikus-tikus berdasi,
dasi ukuran berapa yang pas buat mereka, apa sempet diukur dulu pas jahit?”
semua orang tergelak termasuk Deni.
“Koyone aku kudu takon sek karo bapak panglima besar
tikuse. Jangan-jangan tahun depan ada tikus berkacamata, tikus bermaskara, tikus
berhigh heels, tikus ber tang top, tikus ber hot pant, ckckck sing ono malah
unyu-unyu cah…dudu medeni, malah ngko kepenaken cah lanang nek tikus nganggo
tang top mbek hot pant” tawa pun kembali terdengar memenuhi ruangan yang
bertuliskan kedai kopi NJALUK TULUNG itu.
“Kadang aku juga ndak ngerti dengan istilah seperti tikus-tikus berdasi, yang tadi itu.
Semakin banyak saja pengistilahan aneh semacam itu, seperti ada lagi istilah cicak vs buaya. Itu katanya bukan arti
sebenarnya to?, hanya sebuah istilah atau simbol untuk mengistilahkan manusia-manusia
yang tengah menduduki kursi teratas, katanya loh ya katanya, aku yo wis sepuh,
ra ngerti opo-opo. Bukannya mereka itu para petinggi kita, dalam arti mereka
itu adalah orang-orang terhormat, tapi ko diistilahke nganggo binatang,
berartikan sama dengan membinatangkan manusia nek ngono. Iyo ra??? “ Tanya pa
Darwin yang mencoba mengajak diskusi penonton.
“Yoooooo!!!” seru penonton yang semuanya berusia
seperti Deni.
“Lah nek ngono berarti manusia saiki wis mendekati
dengan insting hewani nya, itu berarti manusia sekarang tidak berbeda jauh
dengan….? Dengan apa…?” teriak pa Darwin kembali.
“HEWAAAAAAAAN!!!!!!” jawab penonton sambil teriak.
“Dudu aku lo sing ngomong, dudu aku” katanya sambil
tetawa. Dan semuanya turut tertawa, ruangan yang sesak dengan aroma kopi itupun
menjadi hangat seketika diisi oleh tawa dari para pngunjung yang kesemuanya
adalah anak-anak muda.
Dan setelah itu tiba-tiba secara mengejutkan, Pa
Darwin berkata di microfonnya yang sedari tadi ia pegang.
“ Aku punya sahabat, dia itu sahabat terganteng
sekaligus termalang yang pernah saya temui” kata Pa Darwin sambil melirik pada
pria muda yang terduduk sendirian yang bernama Deni.
“ Malang karena sampai sekarang belum juga mempunyai
tambatan hati” lanjut Pak Darwin sambil melirik dan kali ini berkedip pada
Deni.
“CIEEEEEEE…..!!!!” sorak penghuni kedai kopi tersebut
meledek.
Deni hanya melotot, tak habis pikir kalau malam ini ia
dipermalukan oleh seorang pria yang bisa dibilang sudah kakek-kakek itu,
benar-benar tak terlintas dipikirannya apalagi terbawa mimpi.
“ Dan..ganteng karena diusianya yang masih muda, ia
memilki usaha dan aku yakin dia juga tipikal pria pekerja keras. Namanya Deni,
dia sekarang duduk di sudut sana” lanjut Pa Darwin yang tak segan-segan
menunjuk kearah Deni sekarang.
Dan semua mata kini tertuju pada Deni, sementara pria
bernama Deni itu hanya tersipu malu sambil menggaruk-garuk rambutnya yang
sebenarnya tak gatal itu.
“ Oke tanpa basa-basi kita coba panggil sahabat ku
yang paling ganteng itu untuk maju kedepan dan mengatakan sesuatu yang ingin ia
katakan pada dunia, bang den..ayo naik!” perintah Pa Darwin.
Dan pria muda bernama Deni yang dibuat malu setengah
mati itu terdiam sebelum akhirnya terdengar suara “naik..naik..naik!” seperti
jaman TK saja pikir Deni yang pada akhirnya harus menyerah dan naik juga. Deni pun
melangkah maju kedepan sambil diiringi tepukan dari penghuni kedai kopi
tersebut. Saat tiba diatas panggung, PaK Darwin menepuk bahu pria muda yang
dipanggilnya tadi sambil membisikkan “tell the world, son!” dan pergi
meninggalkan Deni sebelum Deni sempat membalas bisikannya.
‘Em..tes..tes.tess! ngomong apa ya?” kata Deni bingung
sambil menggaruk lagi rambutnya yang tak gatal itu.
Penonton alias pengunjung memperhatikan pria bernama
Deni itu dengan penuh rasa penasaran.
“Sebenernya gue ga tau musti ngomong apa, tapi tadi
ada pak tua ngebisikin gue tell the
world, son, katanya. Gue rada bingung, bingung nya kenapa, gue mikir kapan dia nikahin ibu gue sampe
bilang nak (son) segala” kata Deni sambil geleng-geleng.
Seketika pengunjung tertawa terbahak-bahak.
“Ok, gue emang punya sesuatu yang pengen banget gue
ungkapin kedunia, udah gue rangkai sedemikian indah tapi seringnya gue bingung,
apa dunia bisa ngerti cerita gue? Apa ini waktu yang tepat? Cukup pentingkah
diri gue buat diperhatiin dunia? Cukup keraskah suara gue untuk didenger dunia?
Banyak banget pertanyaan-pertanyaan semacaem itu yang nyuruh gue buat berpikir kayaknya gue bungkam ajalah atau pura-pura jadi orang bisu
kayanya lebih aman. Sampai akhirnya
datanglah seorang lelaki yang lebih tepatnya gue sebut malaikat tua yang
sekarang ini ngasih gue keberanian buat nyampein rangkaian kata yang udah lama
banget gue simpen, sampe-sampe udah mau expair aja gitu. Dan akhirnya dengan sangat rendah hati
dan penuh hormat untuk para penghuni kedai kopi ini dan terspesial untuk pria
tua gue (sambil menggerakan tangan membentuk tanda kutip) , CEKIDOOOT..
Tiba-tiba saja, dengan langkah gesit Deni mengambil
gitar di belakangnya dan mulai memainkan.
Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji
Lalu sembunyi dibalik meja
Teman sekerja
Didalam lemari dari baja
Kucing datang
Cepat ganti muka
Segera menjelma
Bagai tak tercela
Masa bodoh hilang harga diri
Asal tidak terbukti ah
Tentu sikat lagi
Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus-rakus bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang
Tikus menghilang
Kucing-kucing yang kerjanya molor
Tak ingat tikus kantor
Datang men-teror
Cerdik licik
Tikus bertingkah tengik
Mungkin karena sang kucing
Pura-pura mendelik
Tikus tahu sang kucing lapar
Kasih roti jalan pun lancar
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji
Lalu sembunyi dibalik meja
Teman sekerja
Didalam lemari dari baja
Kucing datang
Cepat ganti muka
Segera menjelma
Bagai tak tercela
Masa bodoh hilang harga diri
Asal tidak terbukti ah
Tentu sikat lagi
Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus-rakus bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang
Tikus menghilang
Kucing-kucing yang kerjanya molor
Tak ingat tikus kantor
Datang men-teror
Cerdik licik
Tikus bertingkah tengik
Mungkin karena sang kucing
Pura-pura mendelik
Tikus tahu sang kucing lapar
Kasih roti jalan pun lancar
Memang sial sang tikus teramat pintar
Atau mungkin sikucing yang kurang
Ditatar !
Atau mungkin sikucing yang kurang
Ditatar !
Satu lagu milik Iwan Fals, musisi kenamaan yang tak
hanya mengusung lagu-lagu bertemakan cinta itu mengalun, lagu nya kali ini
berjudul Tikus-tikus kantor.
“Kenapa gue nyanyi Iwan Fals, karena memang inilah
yang mau gue katakan pada dunia dan cuma disinilah gue bisa bebas bilang dan nyanyi
apa aja sesuka gue. Dan kayanya Cuma disini juga deh gue bisa berkoar-koar
tanpa harus ada syarat wajib pake embel-embel title dibelakang nama gue.
Buktinya tadi kakek-kaek tua pengendara vespa aja bisa kok berteriak JAMAN
SEKARANG MANUSIA ITU BLABLABLA tanpa harus ada title segala macem” Deni
bercerita penuh semangat.
“Plato pernah bilang, bahwa hanya dengan menjaga keseimbangan dan kesederhanaan sajalah, maka
aku dapat mencapai kehidupan yang bahagia atau selaras. Lama merenung dan
meresapi kata-kata itu, kayanya berbanding terbalik banget dengan dunia
sekarang. Sekarang kayanya harta itu adalah segalanya, semua halal selagi dalam
judul atau konteks duit. Meski harus jadi tikus kantor kaya judul lagu barusan,
for DUIT ya just DO IT. Miris memang, ditambah lagi sekarang yang namanya kejujuran
kayanya cuma sederet kata yang jadi bahan materi di bangku SMP yang
ujung-ujungnya bakalan dijadiin bungkus gorengan trus dilempar ketong sampah.
Kayanya gue ngga harus mikir sejauh itu deh, itu bukan lahan gue men, gue terlalu
cupu buat mikirin hal yang harusnya ditangani cuma sama orang-orang berotak udang,
yang otak udang aja masabodo kadang-kadang, kenapa gue yang otaknya jongkok
mikirin hal yang berat kaya gitu. Dan dari pada omongan gue yang makin lama
makin ngelantur, gue cukupkan sekian saja dari gue, terimakasih banyak gue
ucapin buat semua yang udah nganggep gue engga bisu dan yang udah nyempetin
telinga kalian buat dengerin joking-joking gue yang terkesan engga mutu, sekali
lagi thanks for all” lanjutnya sebagai kalimat penutup.
Sementara Deni turun panggung, tepok tangan pun
terdengar begitu meriah dari para pendengar di kedai kopi tersebut.
&&&
Bicara soal kejujuran, apa bener cuma ada di dalam
teori belaka? apa bener cuma bikin ancur? Kenapa ko kesannya kalo jujur malah
nyusahin? apa bener gitu? atau emang manusia sekarang yang kurang ditatar
mengenai kejujuran? Apa mindset kita yang terlalu dangkal dan terkesan berjalan
ditempat saja? Entahlah, rasanya tak ada habisnya kalo udah bahas masalah itu,
rasanya seperti berjalan memutari bumi yang bulat, sampai kapanpun ga akan
pernah ketemu ujungnya.
Ok, kembali bahas masalah perbincangan Deni yang
kemarin, inti dari kata-katanya adalah menyinggung masalah politik, ya.. sebut
sajalah kasus-kasus manipolitik yang santer dibicarakan akhir-akhir ini,
apalagi kalau bukan KORUPSI. Ada lumayan
banyak musisi dan seniman lain yang secara blak-blakan mengkritik kasus korupsi
dan bahkan ada yang sampai mengutuk pelaku korupsi dengan beberapa cacian yang
tak segan. Sebut saja Iwan Fals, ada beberapa buah judul lagu milik musisi
kenamaan yang intinya mengkritik para koruptor, seperti lagu yang dibawakan
Deni diatas yang judulnya Tikus-tikus
Kantor, dan Politik uang. Bukan hanya musisi senior macan Iwan Fals saja,
dari Slank juga ada, judulnya Seperti
Para Koruptor. Jika tadi adalah dari para musisi, ada juga yang dari
seniman atau budayawan senior kenamaan bernama Sudjiwo Tedjo, salah satu judul
bukunya yaitu berjudul “Jiwo J#ancuk” didalam buku itu banyak sekali
menyinggung masalah korupsi, misalnya saja di bagian halaman 160-170 dari buku
itu.
“Munafik! Munafik! Munafik! Lebih baik ngomong JANCUK
tapi gak korupsi, dari pada sopan tapi korupsi. Munafik! Jancuk bangsa ini.”
“Jancuk tuh ketika kalo ada rokok ada pula ‘awas
merokok dapat membahayakan…’ tapi kalo ada pejabat ga ada “awas korupsi dapat
membahayakan..”
Diatas tadi adalah cuplikan mengenai kritik korupsi
yang disampaikan Sudjiwo Tedjo dalam bukunya, menurut Sudjiwo Tedjo, jancuk
adalah ungkapan beragam dari kemarahan
sampai keakraban, tergantung sikon, seperti FUCK. Tapi orang munafik langsung
nyensor, katanya.
&&&
Setelah hari itu, hari dimana Pak Darwin dan Deni
bertemu di kedai kopi, Deni tak pernah bertemu dengan Pak Darwin lagi. Tak ada
kabar tentang nya, benar-benar tak ada sama sekali. Deni bingung, ini adalah
genap 2 minggu setelah pertemuan terakhirnya dengan Pak Darwin di kedai kopi
waktu itu. Sangat ingin Deni berkunjung kerumahnya, tapi ia tak tahu dimana
rumahnya, sugguh Deni merasa bersalah dan berdosa karena bagaimana bisa rumah
sahabat yang begitu ia sukai, tidak ia ketahui. Deni pun merasa sangat tidak
becus menjadi sahabat yang Cuma bercerita dan membiarkan orang lain tau
masalahnya sendiri, sementara untuk hal sepele dari mereka saja tidak tahu.
Deni hanya tak habis pikir, betapa egoisnya ia sebagai manusia. Tak berpikir
lama, akhirnya Deni bertanya pada salah satu teman yang juga sering kelihatan
ngobrol bersama dengan Pak Darwin dan dari situlah Deni tahu, bahwa ternyata
orang yang selalu ada untuknya dan selalu menyemangatinya itu sedang sakit,
kabarnya jantungnya kambuh. Kalau yang ini pasti karena rokok, karena Pak
Darwin pernah bilang kalau jantungnya rusak karena kebiasaan merokonya yang
berlebihan. Akhirnya tanpa berpikir panjang, Deni pun pergi mengunjungi Pak
Darwin yang katanya sedang terbaring lemah dirumahnya.
Sesampainya dirumah Pak Darwin, Deni hanya terbengong dan
tertunduk tak berdaya melihat apa yang ada dihadapannya. Rumah yang sungguh mungil,
terbuat dari anyaman bambu, dan terlihat sangat tua. Sungguh miris, ini lebih
pantas dibilang kandang dari pada rumah. Deni pun melangkah ragu, dan
sesampainya disana, rumahnya sangat sepi, dan Deni kembali tak percaya pada apa
yang dilihatnya, Pria tua yang selalu ceria, mengerti bahasa anak muda,
friendly dan murah senyum itu kini terbaring di tempat tidur, tanpa ada seorang
pun yang menemainya, tak ada siapa-siapa disampingnya, hanya tumpukan selimut
kumal berwarna kuning kecolatan. Dia terbangun dan ah..Deni tak tahan rasanya,
suara batuknya yang mulai menunjukan itu adalah penyakit ganas, membuat Deni
tak bisa menahan air matanya. Pria tua itu, dengan batuknya yang menjadi-jadi
merangkak ditempat tidur berniat untuk mengambil gelas disamping tempat
tidurnya. Dan dengan langkah gesit, Deni membantunya, tiba-tiba Pak Darwin
melirik kearah Deni kaget.
Merekapun kini terlibat dalam perbincangan dan tak
jarang Deni hanya menjadi pendengar dengan mata yang berkaca-kaca. Dilihatnya
pria tua itu lekat-lakat, Deni tersenyum melihat ada begitu banyak kerutan di
wajah pria tua itu.
“Kenapa bang Den?” Tanya Pak Darwin penasaran
Denipun hanya tesenyum tak menjawab.
“Baru sadar ya kalo aku ini tua” katanya dengan suara
lirih.
Deni kembali tersenyum. Ia tak habis piker pada pria
tua dihadapannya itu, sedang sakit saja sempat-sempatnya bercanda. Deni beranjak
pergi sebelum akhirnya Pak Darwin tertidur.
&&&
Setelah kejadian kemarin, Deni
mengerti apa artinya hidup, apa yang harus ia lakukan pada hidup. Lebih
tepatnya kini Deni lebih bisa menghargai hidup, menyikapinya secara bijak dan
menghadapi masalah sebagai pria jantan bukan sebagai pengecut. Kini ia sadar
bahwa bukan keluarga, sahabat, dan juga bukan uang,
yang akan membantu menyelesaikan masalah, melainkan diri sendiri dan lalu waktu
akan berikan jawabannya. Yang terpenting
adalah bagaimana kita menyikapi setiap permasalahan itu, bukan bagaimana kita
menyelesaikan masalah itu. Cukup
dewasakah kita untuk menyikapi dunia yang lihai permainkan kita? Coba
merenungkan dan memahami apa-apa yang ada di sekitar kita dan tetap bersikap
positif dalam hidup yang sederhana itu jauh lebih baik dari pada harus mengeluh
dan bersitegang dengan hidup. Seperti kutipan di sebuah buku berjudul 5 cm karya Donny Dhirgantoro, yang
berbunyi “yang kita perlu sekarang cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari
biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan
menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas,
lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja
lebih keras dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdo’a”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar