Pengikut

Sabtu, 21 April 2012

Pa Darwin

Cuaca kali ini begitu cerah, panas dan ah..membuat cairan yang banyak mengandung garam menetes dengan derasnya, cairan itu mulai menyeruak dari dahi hingga nyaris saja jatuh ke mata, untunglah alis mata yang hitam dan tebal milik pria bernama Deni itu berhasil menangkisnya. Saat ini pria yang mengenakan kaos oblong hitam dipadu dengan jeans pendek itu tengah mengendarai vespa hitam usai mengantar adiknya kesekolah. Jalanan yang lengang membuat otak pria berumur 24 th itu turut lengang, kosong tak menentu. Sejak papanya meninggal, saat itu Deni berusia 18 th, Deni kini hidup bertiga dengan mama dan adiknya Tio yang masih TK, Deni tergolong anak yang kaya sewaktu papanya masih hidup, hidup serba berkecukupan, melimpah ruah bahkan. Papanya bekerja di perusahaan swasta yang bergelut di bidang batu bara, tapi yang namanya kehidupan, pastilah ada yang namanya life rotation, rotasi kehidupan. Sekarang diatas, besok bisa saja dibawah, sekarang bahagia, besok siapa yang tau?, hal itu pula yang tengah menimpanya, perusahaan papanya bangkrut dan lalu papanya mengidap stroke hingga beliau pun meninggal. Sedih? hH..jangan ditanya lagi, sampai air mata saja tak sanggup keluar waktu itu. jika harus memilih, tentu Deni lebih memilih menangis dan menjerit sampai puas, bukan tertahan dan menumpuk sesak di dada seperti waktu itu. yah, tapi itu sudah lewat, dan ngga mungkin bisa kembali lagi, pikirnya. &&& Kali ini Deni tengah berada di bengkelnya,bengkel hadiah ulang tahun dari papanya, sewaktu ia berusia 17 tahun. memandang kearah liar menunggu pengendara motor mampir memperbaiki motornya dan lalu membangunkannya dari lamunannya. Tapi apa daya, Dewi Fortuna tak berpihak padanya hari ini. Bengkel sudah menjadi tempatnya mengadu nasib setelah papanya meninggal. Saat itu ia memutuskan untuk tak bersekolah, meski mamanya memaksa dan mampu membiayainya, ia tetap pada pendiriannya. Setelah beberapa menit, munculah seorang pria tua yang biasa mampir ke bengkelnya itu dengan motor vespa bercat kusam yang sama tuanya. “pagi pa Darwin..?” sapa Deni hangat. “pagi..!!gimana bang, dewi fortuna mampir?” tanyanya dengan gaya bahasa yang tidak sekolot umur dan vespanya. Deni hanya tersenyum lalu kembali merapihkan besi-besi dihadapannya. “ah..bujang yang satu ini, masa neng Dewi ngga tertarik sama pria ganteng seperti abang Deni sih? apa perlu bapa yang menggombali Dewi Fortuna supaya mau mampir di bengkel kamu bang?” katanya mencoba menghibur. Dan benar saja, tawa Deni pun meledak, ini adalah tawa Deni yang ke sekian, setara dengan hadirnya bapa Darwin di bengkelnya. Deni pun menyerahkan secangkir kopi hitam yang dituang dari termos kecil yang tadi pagi di siapkan mamanya dirumah. “ hanya perlu mengambil hati Dewi Fortuna saja bang Deni...” lanjutnya lagi, dan kini mereka tengah duduk di kursi diantara besi-besi tua peralatan bengkel milik Deni. “ hem” Deni hanya berdehem sambil menyeruput kopi hitam yang begitu digandrunginya. “mau tau caranya?” tawar pria tua yang juga menyukai kopi itu. Deni mengangguk sambil tersenyum. “CINTA” kata pria tua itu pendek sambil memberi sebatang roko pada Deni. “kenali dulu pekerjaan kamu, sukai, lalu cinta akan tumbuh. Dan kalo sudah cinta bang Deni, apapun dilakukan, bahkan sampai bekerja keras banting tulang, meskipun pada akhirnya kamu gagal, kamu tidak akan kecewa, karena apa...? jawabannya satu, karena CINTA” katanya panjang, dan pria muda betubuh tinggi itu memperhatikan omongan pa Darwin dengan serius sampai tak terasa rokok di tangannya kini padam tertiup angin. Lalu Pa Darwin pun kembali menghisap rokoknya sambil mengambil korek gas dikantongnya lalu menyalakan puntung rokok ditangan Deni sambil berkata “jadi, siap gombalin si Dewi lagi?” tanyanya. Dan merekapun kembali tertawa lepas, setidaknya kini Deni bisa tertawa lapas kembali sejak ia merasa sudah tak ada alasan lagi untuk tertawa setelah papanya meninggal. &&& Secangkir kopi telah nangking di meja halaman rumah milik Deni, dan seorang pria dengan setia menemani secangkir kopi tadi, menunggunya dengan sabar seteguk demi seteguk sambil menumpangkan kaki khas gaya pria dan sesekali memandang kearah jalan yang ukurannya pas untuk 1 kendaraan roda 4 di depan rumahnya yang di komblok. Hari ini hari minggu, dan setiap hari minggu, mamanya melarang anak sulungnya itu untuk pergi kebengkel dan menggunakan semua aktifitas dirumah untuk berkumpul bersama. Sambil sedikit menerawang keatas, dilihatnya mentari yang sedikit malu-malu untuk keluar dari peraduannya, lantas ia tersenyum. Entah kali ini rasanya ia seperti teringat masa putih abu-abunya yang benar-benar dirasa sangat indah. Ia ingat benar bagaimana bengalnya ia sewaku SMA dulu. Mulai dari memanjat tembok untuk masuk, membolos, meroko, tawuran, mabuk, dan adu mulut dengan kepala sekolah, semua itu ia lakukan demi yang namanya solidaritas. Ia hanya remaja pria korban dari salah arti mengenai solidaritas dalam persahabatan. Ia bahkan sempat dikeluarkan dari sekolah demi membela sahabatnya yang kepergok mabuk disekolah. Pria bernama Deni itupun kembali tersenyum sambil mengeluarkan puntung rokok dan menghisapnya. Senyumnya tadi terlihat kecut, tidak seperti senyum karena sesuatu yang menyenangkan, tetapi karena rasa perih dihatinya. Tiba-tiba ia teringat sahabat-sahabatnya yang tak pernah muncul lagi, yang bahkan untuk sekedar menyapanya lewat hanphone, atau sekedar mampir ke bengkel. Tak ada kabar tentang mereka seperti semua terhenti dan putus begitu saja seiring putusnya masa SMA, seperti itukah persahabatan yang telah ia pupuk dari sejak mengenakan putih abu-abu, tak ada lagikah ikatan yang dulu terjalin, kemana janji yang dulu diucap, kemana kata-kata “gue sahabat lu” kini hilang begitu saja. Kini pria itu kembali menghisap puntung rokonya yang tanpa terasa tinggal sepanjang kelingking nya. &&& Siang hari saat ia hendak pergi kebengkelnya untuk mengambil alat untuk vespanya yang sedang sedikit bermasalah, tiba-tiba ia bertemu dengan pria tua yang begitu dikenalnya itu. “tutup bang Deni?” katanya menyapa duluan. “eh pa, ah biasa, hari minggu pa, buat keluarga” jawabnya sambil tersenyum. “ngopi dulu ah bang den yuuk” tawarnya. Merekapun melesat bersama vespa mereka masing-masing menuju warung kopi langganan pa Darwin yang katanya kopinya uenak pouull. Setibanya disana mereka langsung memesan kopi dan terlibat dalam obrolan mengenai vespa,mesin motor dan komentar kopi di warung itu. “jadi kalo hari minggu kumpul keluarga?” kata pria yang dipanggil Pa Darwin itu, yang kali ini berada di pinggir jalan dan terduduk di vespa masing-masing. Deni yang memang terkenal tak banyak bicara itu hanya mengangguk sambil tersenyum. “bukan buat ngapel bang Den?” sindir pa Darwin. “gimana mau ngapel pa, gombalin Neng Dewi fortuna aja saya payah” katanya mulai membuka guyonan, mereka pun tertawa lepas. Kini sahabat yang setia dan selalu ada menemani Deni setelah vespa kesayangannya adalah pa Darwin, bukan hanya itu, pa Drawin juga ia anggap sebagai guru yang mengajari segala macam pelajaran yang tak pernah ia dapatkan diwaktu SMA dulu. “saya yatim piatu dari kecil dan berjuang hidup sendiri, tapi saya ngga pernah lupa untuk tersenyum, setiap hari saya pergi kesana kemari menyibukkan diri, mencari sesuatu yang bisa bikin saya tersenyum, apapun itu! pokonya sehari saya harus tersenyum bang Den” katanya tiba-tiba berkata panjang lebar seolah memberi semangat pada pria muda yang terlihat murung itu. “jadi itu rahasia awet muda pa Darwin” kata pria yang merasa tersentuh itu. “wah, payah..kebongkar deh” hahhhaha katanya sambil tertawa. “Jadi kapan nih hari minggu dipake buat ngapel?” katanya lagi sambil tertawa. Deni hanya tersenyum, “mba..” panggil pa Darwin tiba-tiba pada gadis seusia Deni yang tengah lewat itu. “kira-kira menurut mba,abang ini cakep ngga mba?”tanynya sambil menunjuk pada Deni. Gadis itu hanya tersenyum dan sedikit melirik Deni dan berjalan kembali. “senyum tuh bang Den, itu artinya cakep!” katanya mengedip pada Deni, Deni pun tersenyum sambil menggeleng tak habis pikir pada tingkah gokilnya pa Darwin tadi. &&& Kini Deni mengerti apa artinya hidup, apa yang harus ia lakukan pada hidup. Lebih tepatnya kini Deni lebih bisa menghargai hidup, menyikapinya secara bijak dan menghadapi masalah sebagai pria jantan bukan sebagai pengecut. Kini ia sadar bahwa bukan keluarga,sahabat, dan juga bukan teman, yang akan membantu menyelesaikan masalah, melainkan diri sendiri dan lalu waktu akan berikan jawabannya. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapi setiap permasalahan itu, bukan bagaimana kita menyelesaikan masalah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar