“Berita
terkini, sekitar 240 tahanan di LP cipinang Bogor berhasil melarikan diri
akibat dari kasus keributan yang terjadi di dalam sel tahanan”
Seorang
pembawa acara berita tv terdengar begitu lantang dan serius di dalam bus membacakan
berita. Seorang bapak berusia senja dengan telaten mencermati tiap kata dalam berita
itu lekat-lekat. Anak kecil dipangkuan ibunya menahan mual karena sedari tadi bus
tak juga berangkat. Aku terduduk lunglai
merasakan panas yang seperti perlahan menghanguskan permukaan kulitku.
Hari
ini aku berniat berkunjung kerumah nenek di Solo, kabarnya nenek sakit parah
dan aku di suruh untuk menginap di sana sekitar sebulan, sekaligus juga untuk
mengisi liburan akhir semester di perkuliahanku. Aku menyusul mama papa yang
memang sudah stay di sana sebulan yang lalu.
“Semarang
Solo, Semarang Solo” si kenek mengoceh sedari tadi berharap busnya segera penuh
dan berangkat. Aku dengan sabar mengelap keringat, untung saja aku membawa stok
tisu banyak. Setelah menunggu hampir satu jam, isi bus mulai penuh, satu
persatu penumpang berdatangan. Aku mulai memainkan handphone dan memasukkan
earphone ketelingaku, gulir-gulir kekan kekiri, aku mencari lirik dari sebuh
lagu milik Iwan Fals dengan judul “masih bisa cinta” aku sengaja mereapeatnya
agar bisa kunikmati isi dari liriknya yang kata Dani menyentuh. Dani adalah
adik semata wayangku, ia hanya anak SMA yang memang gandrung Iwan Fals. Aku
mulai iseng mengeluarkan kertas memo kecil pemberian Anin sahabat terbaikku
sewaktu SMA dulu, katanya aku di suruh menuliskan apa saja yang ada di
pikiranku.
“Mba,
mba, saya di pojok duduknya boleh ya?” kata seseorang yang sepertinya bisa di
bilang sedang memohon. Aku sedikit kesal dan langsung pindah posisi, sebenarnya
tempat duduk dekat jendela adalah favoritku.
Saat
sedang asik-asik menghayati lirik dan
mencatat beberapa curhatan, tiba-tiba saja bus di rem secara mendadak.
Penumpang langsung memaki si supir bus, dan seolah kejutan hari ini di buat
secara jamaah.
“Demi keamanan dan keselamatan para penumpang bus,
kami sarankan semuanya untuk segera berdiri agar mempermudah proses pemeriksaan”
ucap seorang petugas kepolisian lantang.
Aku
semakin degdegan ketika ada begitu banyak wartawan dari berbagai stasiun
televisi yang ikut meliput.
“Maaf
pak, emang ada apa yak ko mendadak ada pemeriksaan?” tanya seorang ibu pada
salah satu petugas polisi berbadan sterek itu.
“Kami
sedang mencari 40 tahanan dari 240 tahanan yang berhasil melarikan diri bu,
yang 200 orang sudah kami tangani. Maka di mohon kerjasamanya” katanya wibawa.
Petugas
polisi berbadan sterek itu sedang menuju kearah bangku dimana aku duduk,
jantungku berdetak semakin kencang, keringatku keluar tak wajar. Polisi itu
memandangiku, dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu memeriksa isi tasku,
dan polwan di sampingnya memeriksa pakaianku.
“Aman!”
katanya tegas lalu tersenyum padaku ramah.
Huft..aku
menghela napas panjang, lega rasanya.
“Maaf
mas berdiri” perintah petugas polisi pada penumpang di samping bangkuku yang
masih saja duduk.
“Sayang,
aku sakit” kata penumpang itu tiba-tiba sambil menggenggam tanganku.
Seketika
petugas polisi dan polwan bergantian menatapku lalu tersenyum, aku mengerutkan
dahi tak mengerti. Mereka lalu membiarkan penumpang itu diperiksa terduduk
dengan posisi wajah terbungkus topi dari jaket yang ia kenakan.
“AMAN!”
teriak petugas tadi, lalu membiarkan bus kami kembali melaju.
Saat
aku kembali duduk, tiba-tiba saja jaket penumpang di sampingku itu terbuka
sedikit lalu aku melihat baju dalam yang ia kenakan, aku terkejut setengah
mati, ketika membaca tulisan tahanan
kota. Aku langsung ingin berteriak tetapi orang itu langsung membekap
mulutku dan memberiku sebuah kertas.
Kertas
itu berisi:
“Aku
adalah seorang tahanan yang melarikan diri, aku bukan ingin kabur, aku hanya
ingin berkunjung kerumah nenek di Solo dan menjelaskan sesuatu padanya, setelah
urusanku selesai aku berjanji akan menyerahkan diri , aku jamin kamu tidak akan
terlibat apapun. Jadi mohon, tolong aku sekali ini saja”.
Aku kembali terduduk,
aku bimbang, keringatku kembali keluar tak wajar, tanganku gemetar, bibirku
kaku. Aku tak percaya, seseorang yang tengah duduk di sampingku saat ini adalah
seorang napi.
%%%
Pukul 17.46 setibanya
di terminal, aku berniat segera loncat dari dalam bus dan lari
sekencang-kencangnya lalu tiba dirumah tengah mendapati aku yang bangun dari
tidur merasakan lega karena yang terjadi hari ini adalah cuma mimpi buruk.
Namun harapunku pun
musnah, dan penderitaanku tak tamat sampai di terminal. Ketika tiba-tiba
tanganku seperti ada yang menahan, semakin aku tarik, cengkeramannya semakin
keras dan “Auwww..!!!” aku kesakitan.
“Sori, tapi aku perlu
ngomong sesuatu, tunggu penumpang sepi” katanya berbisik dan kedengarannya
seperti aku sedang diancam oleh seorang napi, ralat, bukan kedengarannya, tapi
memang aku sedang di ancam seorang napi. Aku meringis kesakitan, tak sanggup
berbuat banyak, dan akupun menuruti permintaan napi sialan itu. Setelah
penumpang bus turun dan kini hanya ada aku dan si napi sialan itu, barulah ia
bicara.
“Dengar, aku tak punya sepeserpun uang, sedang aku
butuh uang untuk transportasi kerumah nenekku. Intinya, aku butuh uang” katanya
lagi setengah berbisik tepat di telinga kiriku.
Aku langsung memberikannya sujumlah
uang, lalu hanphone, mp3 dan jam tangan kesayanganku.
“Ambil semuanya, dan lepaskan aku”
kataku lantang namun sebenarnya takut setengah mampus.
“Aku bisa saja merampas semuanya sampai
tak bersisa kalau aku mau, tapi aku bukan orang jahat, aku cuma butuh uang
transportasi, dan… aku juga tidak percaya kamu. Jadi aku harus mengikutimu
untuk memastikan kalau kamu tak berbuat macam-macam”
“HAH, TADI KAMU JANJI GA AKAN NGELIBATIN
AKU, DASAR PENIPU!!!” teriakku lantang.
“Stt pelankan suaramu!!” bisiknya sambil
membekap mulutku.
“PENIPU…!!” teriakku lagi.
Entah keberanian untuk meneriaki napi
itu datang dari mana, yang jelas aku sangat emosi kali ini.
“Diam! aku bilang pelankan suaramu,
jangan sampai aku berbuat kasar dan melukaimu, turuti saja perintahku” ancam
napi sialan itu.
Aku akhirnya turun dari
bus dengan langkah tergesa-gesa, dan meninggalkan sejumlah uang, mp3 serta jam
tangan. Napi itu mengikutiku dan berusaha mengejarku, setelah akhirnya kami
sejajar, dia membisikku.
“Jangan buat langkah mencurigakan,
jangan macam-macam, aku akan berjalan di belakangmu. Jika ada orang atau polisi
yang curiga, aku akan berlari dan aku janji tidak akan melibatkanmu. Jadi
jalanlah yang benar dan bawa kembali barang-barangmu (memasukkan kembali uang
dan barang milikku kedalam tas yang aku gendong)”.
Aku kembali berjalan, kali ini rasa
takutku memuncak, melipat ganda. Saat sedang menunggu angkot, tiba-tiba,
segerombolan pria nakal menggodaku dengan tangan yang mulai usil.
“Lepas!” aku berteriak sambil
menghentakkan tangan lelaki nakal tadi.
Tuhan, kesialan apa lagi kali ini.
Kenapa ada begitu banyak cobaan yang Kamu berikan hari ini, ini terlalu
berlebihan Tuhan, aku tak sanggup, ucapku dalam hati.
“Aku bilang lepas,
jangan macam-macam kalian hah!” aku berteriak sejadi-jadinya dan tak terasa aku
mulai menjatuhkan air mata sebelum akhirnya terisak. Lelaki nakal itu
berbondong-bondong mendatangiku dan mulai melemparkan beberapa makian, jalang
lah, ayam kampus lah, aku semakin terisak.
Ketika salah seorang pemuda nakal itu
hendak menarik kerah bajuku, tiba-tiba saja…
“Buummmmmpt” ada yang
memukul duluan wajah si pemuda nakal tadi, walhasil pemuda tadipun terhuyung
ketanah dan berlari kabur di susul temannya yang lain.
Aku terkejut setengah mampus, ketika
kudapati pahlawan yang menyelamatkanku adalah seorang napi, ya.. napi sialan
yang mengancamku tadi.
“Sudah aku bilangkan, aku bukan orang
jahat” katanya lantang dan berlalu begitu saja.
“Apa!!! apa tadi katanya, dia bukan orang
jahat? hah..dari tadi dia mengancamku dan melibatkan aku dia bilang bukan orang
jahat? yang benar saja!” kataku bicara pada diri sendiri.
“Seorang napi tapi bukan orang jahat?
NONSENSE BANGET!!!!!!” gerutuku.
Aku berada di dalam
angkot saat ini, ya.. masih diikuti napi sialan itu. Kali ini kami duduk
berhadapan di pojok tempat duduk angkot itu, aku duduk dengan kepala menunduk
terkulai kebawah tak bertenaga. Napi itu, wajahnya masih terbungkus topi dari
jaket hitamnya, ia pun tertunduk, takut ada yang melihatnya, tapi matanya awas
sekali, bergerak kemana-mana. Selang beberapa menit kemudian, kakiku di senggol
si napi tadi, dan lamunanku pun buyar seketika.
“Ponselmu bunyi” katanya
Aku segera mengangkatnya.
“Nyampe mana mbak?” terdengar suara mama
diseberang telepon sana.
“Nyampe solo ma, ini lagi di angkot 10
menitan lagi nyampe ko” jawabku pelan.
“Oh, yaudah alhamdulilah kalo gitu, mama
sama papa takut kamu kenapa-napa” mama
mulai terdengar seperti terburu ingin menutup telepon.
“Ma..” panggilku seperti sedang kutahan
mama untuk tidak menutupnya.
“Ya, kenapa, ada apa?” tanya mama panik
“Aku..aku..” aku memberanikan diri
menatap napi itu, dan ia pun ternyata sedang mengawasiku, kami saling tatap
untuk beberapa menit.
“Kenapa mbak, apa ada preman yang
mengganggumu di terminal?” terdengar mama menyelidik penuh cemas.
“Ma…ma…ma..hiksss” aku kembali hanya
bisa terisak.
“Aku kangen mama” sangkalku akhirnya.
tuutut tuttttt telponpun akhirnya di
tutup.
“ha ha..anak mama” kata napi itu tiba-tiba.
Apa sekarang napi sialan itu sedang
meledekku?
%%%
Di dalam angkot, aku
menyusun sebuah rencana, sebuah strategi untuk melarikan diri. Ya, aku berniat
untuk kabur dan segera berlari. Aku tidak sudi menampung seorang napi, apa lagi
nenek tengah sakit. Aku tidak mau menambah masalah keluraga, aku tidak mau.
Sama sekali tidak lucu pulang kekampung membawa seorang narapidana. Ya,
rencanaku sudah matang, aku akan turun di gang mawar sebelum sampai di gangku,
di sana ada sebuah kebun yang gelap, aku rencananya akan kabur dan masuk
kedalam kebun itu lalu mencari jalan pintas untuk tembus ke gang menuju
rumahku. Yap, fix aku akan kabur kesana!
Saat aku turun dari
angkot, sesuai rencana, aku berhenti di gang mawar. Saat aku suruh si napi itu
membayar ongkos, saat itulah aku kabur. Aku berlari sekencang-kencangnya,
berlari dan aku masuk kedalam hutan itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk
kabur dan menyelamatkan diri sendiri juga keluargaku. Hah.. huh.. hah…napasku
terengah-engah, aku kelehan, dan kuputuskan untuk berhenti di bawah pohon
beringin raksasa. Aku mulai menenangkan diri, mengatur napas agar aku bisa
segera melanjutkan pelarianku. Saat aku akan berlari kembali, tiba-tiba saja
seperti ada yang menyengat kakiku.
“Akh..!!!!” jeritku kesakitan.
Aku langsung menutup mulutku, merintih
menahan sakitku. Tapi tiba-tiba saja…..
“Ckckck mempersulit diri sendiri” ujar
si napi yang akhirnya menemukanku.
Aku kesusahan untuk berjalan, sepertinya
kakiku bengkak dan terluka parah. Tuhaaaan …tolong aku.
Tanganku di tarik hingga badanku
membentur pohon beringin, aku meringis kesakitan. Napi itu mendekat dan
mengangkat kepalaku dengan tangannya.
“Pakai yang halus tidak mau, jangan
salahkan aku kalau cara mainku kasar” katanya berteriak di depan wajahku.
“Dengar! aku adalah seorang pembunuh,
dan pemerkosa anak gadis orang. Makanya kenapa aku di tahan, jangan sampai aku
melakukannya padamu? mengerti..?!!!!” teriaknya.
Aku terkulai lemas,
bukan, bukan karena rasa sakit di kakiku, melainkan rasa takut yang sebentar
lagi mampu meledakkan jantungku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan menuruti
perintah napi sialan itu.
“Lurus apa belok?” tanyanya sambil
memapahku, semakin menambah kemustahilan untuk kabur karena pinggangku ada
dalam cengkeraman tangannya yang panjang dan kuat.
“Lurus” timpalku lemas.
%%%
Setibanya dirumah.
“Dewi..!!” mama berteriak histeris
melihat aku di papah.
Kami bertiga kumpul di
ruang makan, aku, mama, dan tentu saja si napi sialan. Papa jagain nenek
dirumah sakit, mama sama papa ship-shipan jagain nenek karena mamalah anak
satu-satunya dari nenek.
“Gak bilang kalo pulang bareng…siapa ini?”
kata mama memulai pembicaraan.
“Temen ma, maaf tadi kita juga dadakan ko”
kataku mulai berdusta.
“Oh..siapa namanya wi?” tanya mama.
“Napi” jawabku
“Hah?” mama terkejut
“Eh, maksudnya rafi ma, iya rafi”
ralatku yang sebenarnya dustaku selanjutnya.
“Dani titip salam buat mama sama papa”
“Dia sehat kan wi?” tanya mama cemas.
“Sehat ko mah”
Malam hari saat aku ingin
tidur, timbul ketakutan yang luar biasa aku rasakan. Aku takut kalau tiba-tiba
aku terbangun, mendapati kondisi rumah yang berantakan, atau mendapati mama
yang sudah tak bernyawa atau malah jangan-jangan…. aku yang sudah tidak perawan
lagi, TIDAAAAAAAAAKKKK!!!!
“Ma, jendela kamar sama pintu kamar ga ada yang rusak kan
kuncinya?” tanyaku waswas.
“Ga ada ko, bener semua, kenapa emang?”
selidik mama
“Ya.. waspada aja ma, takut ada maling,
sekarang banyak orang jahat lo ma”
“Tumben” mama mengerutkan kening
keheranan.
“Ya apa salahnya si waspada, mama jangan
lupa kunci jendela sama kamarnya ya” perintahku yang tidak mau ada apa-apa
menimpa mama.
“Iya, siap” jawab mama sambil
senyum-senyum.
Pukul 23.00 Aku masih
terjaga, meski sebenarnya sangat ingin mata terpejam. Tapi, rupanya rasa takutku
lebih besar dari pada rasa kantukku. Aku keluar kamar, untuk memastikan semua
baik-baik saja, aku mengintip kamar depan, kamar yang malam ini dihuni oleh
napi sialan itu. Saat aku melewati kamar itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
“Kenapa? penasaran mau lihat tidurnya
narapidana, hm..?” katanya menyembul dari balik pintu, mengenakan pakaian papa.
“Ish…” aku memelototinya, tapi dia malah
balik menatap mataku tajam, kalahlah aku.
“Atau… jangan-jangan mau nyobain di
kelonin napi, iya?” katanya lagi meledek puas sekali.
“Heh, suruh siapa boleh make baju papa
hah? COPOT SEKARANG JUGA!!!!” perintahku sambil memberanikan diri untuk
memelototinya kembali.
“Mama yang suruh” katanya dengan tatapan
liar, mesum sekali.
“Kalo kamu nyuruh copot ya aku copot”
lanjutnya sambil menyopot baju di depan mataku.
Aku mencoba untuk tidak goyah, tidak
ingin terlihat takut di depannya.
“Heh..janji kamu ga bakal macem-macem
sama keluragaku?!” kataku memastikan.
“CKCKCK masih tidak percaya. Begini
saja, aku masuk, kamu kunci aku dari
dalam, simpan baik-baik kuncinya”
katanya lantang.
“Oke, begitu lebih baik” kataku menahan
denyut jantung yang berpacu tak terkendali.
“Tidurlah yang nyenyak, besok kita
jalan-jalan” katanya sebelum kemudian menutup pintu.
%%%
Keesokan harinya.
Saat kami berkumpul di
meja makan, mama berbincang akrab sekali dengan napi sialan itu, dan lupa kalo
ada aku di sana.
“Aku pinjem Dewinya dulu ya bu” pinta si
napi tiba-tiba manis sekali.
“Iya” mama memberi ijin.
“Emang aku mau kemana?” tanyaku penasaran.
“Jenguk nenekku” katanya tersenyum.
“Tapi ma…” aku berniat menolak namun aku
tau sia-sia.
Kami
berdua pun pamit, dan sungguh.. ini sama sekali tidak lucu.
“Ayo naik” katanya.
“Kenapa gak naik angkot aja si, manja
banget naik motor segala, lagian itu vespa kan udah tua ntar kalo ngepot tengah
jalan kan malah brabe” kataku panjang lebar, karena terkejut melihat si napi
akan memboncengku menggunakan vespa tua taun 60an punya almarhum kakek.
“Gak papa Dewi, katanya si Rafi jago
pake vespa ko” bela mama akhirnya.
Kamipun melesat menggunakan vespa, ya
tentu saja.. ini pertama kalinya aku di bonceng seorang pria menggunakan vespa,
apalagi dia seorang narapidana, patut di catat di rekor muri pokoknya.
Setibanya disana.
“Aku tunggu disini ya?” ujarku tak mau
terlibat terlalu jauh.
Napi itu menarik tanganku, berani sekali
ia menyeretku. Kami pun masuk, sebelum sempat mengetuk pintu.
Suasananya sepi, tapi
rumah ini terlihat rapih terawat. Di dindingnya tergantung beberapa poto, satu
diantaranya ada si napi silalan itu, aku memilih untuk duduk di ruang tamu. Si
napi sialan itu menuju sebuah kamar, sepertinya sedang mencari seseorang,
neneknya mungkin.
“PRAAAAAANG!!!!” tiba-tiba terdengar
suara pecahan beling yang sengaja dilempar.
“PERGI KAMU, AKU NDAK PUNYA CUCU SEORANG
NAPI, KAMU BUKAN CUCUKU!!!!” teriak seseorang yang sepertinya nenek si napi.
“Nek, percaya sama aku sekali ini saja.
Aku ndak melakukan itu nek , aku di fitnah” terdengar pembelaan dari si napi.
“KAMU TAU AKU WIS CAPE MAS, KARO
OMONGANE UWONG”
“Aku ndak peduli omongan orang nek, asal
nenek percaya sama aku itu aja udah cukup nek. Bohong kalo aku bukan cucu
nenek, fotoku masih nenek pajang di depan, itu berarti nenek masih sayang aku”
“Mas, aku percaya, kamu ga mungkin.. ora
mungkin dadi wong jahat, aku ini ngerti kamu dari kecil. Bukan manusia mas yang
fitnah kamu, bukan manusia!!!!” terdengar isakan sekarang.
“Nenek jaga diri baik-baik, jangan
samapi sakit, harus sehat nanti kalo aku bebas”
%%%
Kami berdua terdiam di jalanan, meski
sebenarnya ada begitu banyak tanda tanya berkelebat di kepalaku.
“Kenapa?” tanya si napi, melihat
ekspresi mukaku di kaca spion.
“Mama sms, aku suruh jaga nenek malam
ini” ujarku.
Aku
menelpon mama akhirnya.
“Tapi ma, masa aku jaganya sendiri?” kataku
di telpon, tapi tiba-tiba saja hanphoneku di rebut si napi.
“Tenang bu, aku jagain dewinya” katanya
pada mama.
Aku
berniat merebut kembali ponselku, tapi dia terlalu tinggi, jadi aku cuma bisa
diam.
“Hey..aku mau merkosa juga
pilih-pilih, dan maaf..aku ga nafsu sama
cewe kurus kaya kamu” katanya berbisik
kurang ngajar sekali.
Kami ada di rumah sakit
sekarang, aku sengaja membiarkan papa supaya istirahat di rumah. Meskipun
sebenarnya takut setengah mampus berduaan ditemani seorang narapidana.
Pukul 21.00 aku masih
terjaga, aku keluar berniat mencari udara segar. Mataku penasaran ada dimana si
napi sialan itu malam-malam begini.
“Kenapa, sekarang lebih takut hantu dari
pada napi?” katanya tiba-tiba datang dengan sepuntung roko ditangan.
Aku mélengos, sebelum akhirnya tanganku
seperti ada yang menahan.
“Aku mau cerita, duduk” ujarnya serius.
Aku kali ini menurut, dan duduk
disampingnya.
“Dewi, sebenarnya aku bukan pemerkosa
dan pebunuh seperti yang aku bilang waktu itu. Aku mengatakan begitu cuma agar
kamu takut dan tidak macam-macam. Sebenarnya…aku kena fitnah orang, dan kamu
tau, siapa yang memfitnah aku, dia adalah papaku sendiri Dewi, papa yang
harusnya membesarkan dan menafkahi anaknya”.
“Trus, ibu kamu?” tanyaku hati-hati.
“Ibuku, dia sudah lama meninggal, aku
dibesarkan oleh nenekku yang tadi. Dia adalah satu-satunya keluargaku, makanya
aku sedih sekali kalau dia tidak percaya
padaku. Tidak peduli orang lain percaya atau tidak asalkan nenek percaya
itu saja sudah lebih dari cukup”
“Kejahatan apa yang dituduhkan emang?”
“Narkoba” Katanya pelan sambil sedikit
tersenyum.
“Papaku adalah pecandu dan pengedar
narkoba Dewi” lanjutnya lirih.
Aku terdiam, hanya
memandanginya. Merasa iba, merasa kalau manusia di sampingku ini bukan lagi
seorang narapidana. Sungguh, aku mulai menaruh simpati padanya, pada keteguhan
dan ketegaran hatinya, hati pemuda di sampingku ini.
“Yah..begitulah, jadi kamu tidak perlu
takut berduaan dengan napi malam ini, karena napi ini sedang tidak berselera
membunuh orang” katanya mulai tengil kembali.
Keesokan harinya setelah
percakapanku malam itu, setelah rasa simpatiku pada napi itu, aku tidak
menemukannya lagi, tidak di rumah sakit, tidak di kamar depan, juga tidak di
motor vespa tua itu. Hanya sepucuk surat di bawah cangkir kopi sisa semalam,
dan jaket hitam di tubuhku yang selalu napi itu kenakan untuk bersembunyi.
Kemana dia, apa dia gila bepergian tanpa menggunakan jaketnya.
Seperti
yang aku janjikan, aku pergi menyerahkan diri dan tak melibatkanmu Dewi.
Terimakasih dan maaf untuk semua yang aku lakukan padamu dan keluargamu.
Pesanku, jelaskan pada orang tuamu siapa aku, biar tidak ada dusta lagi dan aku
benci kalau kamu berbohong gara-gara aku. Salam untuk mama kamu yang sangat hangat
dan manis meski tidak tau asal usulku, juga buat papamu yang belum sempat
bertemu. Oiya, semoga nenekmu lekas sembuh ya.
Jujur
Dewi, aku senang bisa mengancam kamu HAHAHA. Oke, sampai jumpa di kehidupan
yang selanjutnya :)
Aku
sayang kamu Dewi.
by:
Bang Napi
%%%
Aku melakukan apa yang napi sialan itu katakan, aku
menjelaskan pada mama, papa, Dani, dan nenek kalau ada seorang narapidana
menyelinap masuk dan menginap dirumah ini. Bahkan sempat ingin melukai cucu
perempuan pemilik rumah ini, tapi ternyata gagal. Narapidana sialan, datang tak
diudang pulang juga gak ketauan, aku bahkan tidak tau namanya. Setelah aku
merasa simpati, aku mulai memanggilnya ‘lelaki tanpa nama’ bukan lagi ‘napi
sialan’ seperti waktu itu. Dan hey, apa maksudnya dengan kalimat aku sayang kamu Dewi ?????
NONSENSE!!!!!!!!
E N D
baguuus. posting cerita lain lagi dong Na
BalasHapusheuheu makasi makasiii...
BalasHapusiya itu diatas udah aku post ko, dibaca ya trus di komen :)