Pengikut

Sabtu, 07 September 2013

LELAKI TANPA NAMA




“Berita terkini, sekitar 240 tahanan di LP cipinang Bogor berhasil melarikan diri akibat dari kasus keributan yang terjadi di dalam sel tahanan”
Seorang pembawa acara berita tv terdengar begitu lantang dan serius di dalam bus membacakan berita. Seorang bapak berusia senja dengan telaten mencermati tiap kata dalam berita itu lekat-lekat. Anak kecil dipangkuan ibunya menahan mual karena sedari tadi bus tak juga berangkat. Aku  terduduk lunglai merasakan panas yang seperti perlahan menghanguskan permukaan kulitku. 
Hari ini aku berniat berkunjung kerumah nenek di Solo, kabarnya nenek sakit parah dan aku di suruh untuk menginap di sana sekitar sebulan, sekaligus juga untuk mengisi liburan akhir semester di perkuliahanku. Aku menyusul mama papa yang memang sudah stay di sana sebulan yang lalu.
“Semarang Solo, Semarang Solo” si kenek mengoceh sedari tadi berharap busnya segera penuh dan berangkat. Aku dengan sabar mengelap keringat, untung saja aku membawa stok tisu banyak. Setelah menunggu hampir satu jam, isi bus mulai penuh, satu persatu penumpang berdatangan. Aku mulai memainkan handphone dan memasukkan earphone ketelingaku, gulir-gulir kekan kekiri, aku mencari lirik dari sebuh lagu milik Iwan Fals dengan judul “masih bisa cinta” aku sengaja mereapeatnya agar bisa kunikmati isi dari liriknya yang kata Dani menyentuh. Dani adalah adik semata wayangku, ia hanya anak SMA yang memang gandrung Iwan Fals. Aku mulai iseng mengeluarkan kertas memo kecil pemberian Anin sahabat terbaikku sewaktu SMA dulu, katanya aku di suruh menuliskan apa saja yang ada di pikiranku.
“Mba, mba, saya di pojok duduknya boleh ya?” kata seseorang yang sepertinya bisa di bilang sedang memohon. Aku sedikit kesal dan langsung pindah posisi, sebenarnya tempat duduk dekat jendela adalah favoritku.
Saat sedang asik-asik  menghayati lirik dan mencatat beberapa curhatan, tiba-tiba saja bus di rem secara mendadak. Penumpang langsung memaki si supir bus, dan seolah kejutan hari ini di buat secara jamaah.
“Demi  keamanan dan keselamatan para penumpang bus, kami sarankan semuanya untuk segera berdiri agar mempermudah proses pemeriksaan” ucap seorang petugas kepolisian lantang.
Aku semakin degdegan ketika ada begitu banyak wartawan dari berbagai stasiun televisi yang ikut meliput.
“Maaf pak, emang ada apa yak ko mendadak ada pemeriksaan?” tanya seorang ibu pada salah satu petugas polisi berbadan sterek itu.
“Kami sedang mencari 40 tahanan dari 240 tahanan yang berhasil melarikan diri bu, yang 200 orang sudah kami tangani. Maka di mohon kerjasamanya” katanya wibawa.
Petugas polisi berbadan sterek itu sedang menuju kearah bangku dimana aku duduk, jantungku berdetak semakin kencang, keringatku keluar tak wajar. Polisi itu memandangiku, dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu memeriksa isi tasku, dan polwan di sampingnya memeriksa pakaianku.
“Aman!” katanya tegas lalu tersenyum padaku ramah.
Huft..aku menghela napas panjang, lega rasanya.
“Maaf mas berdiri” perintah petugas polisi pada penumpang di samping bangkuku yang masih saja duduk.
“Sayang, aku sakit” kata penumpang itu tiba-tiba sambil menggenggam tanganku.
Seketika petugas polisi dan polwan bergantian menatapku lalu tersenyum, aku mengerutkan dahi tak mengerti. Mereka lalu membiarkan penumpang itu diperiksa terduduk dengan posisi wajah terbungkus topi dari jaket yang ia kenakan.
“AMAN!” teriak petugas tadi, lalu membiarkan bus kami kembali melaju.
Saat aku kembali duduk, tiba-tiba saja jaket penumpang di sampingku itu terbuka sedikit lalu aku melihat baju dalam yang ia kenakan, aku terkejut setengah mati, ketika membaca tulisan tahanan kota. Aku langsung ingin berteriak tetapi orang itu langsung membekap mulutku dan memberiku sebuah kertas.
Kertas itu berisi:
“Aku adalah seorang tahanan yang melarikan diri, aku bukan ingin kabur, aku hanya ingin berkunjung kerumah nenek di Solo dan menjelaskan sesuatu padanya, setelah urusanku selesai aku berjanji akan menyerahkan diri , aku jamin kamu tidak akan terlibat apapun. Jadi mohon, tolong aku sekali ini saja”.
Aku kembali terduduk, aku bimbang, keringatku kembali keluar tak wajar, tanganku gemetar, bibirku kaku. Aku tak percaya, seseorang yang tengah duduk di sampingku saat ini adalah seorang napi.
%%%
Pukul 17.46 setibanya di terminal, aku berniat segera loncat dari dalam bus dan lari sekencang-kencangnya lalu tiba dirumah tengah mendapati aku yang bangun dari tidur merasakan lega karena yang terjadi hari ini adalah cuma mimpi buruk.
Namun harapunku pun musnah, dan penderitaanku tak tamat sampai di terminal. Ketika tiba-tiba tanganku seperti ada yang menahan, semakin aku tarik, cengkeramannya semakin keras dan “Auwww..!!!” aku kesakitan.
“Sori, tapi aku perlu ngomong sesuatu, tunggu penumpang sepi” katanya berbisik dan kedengarannya seperti aku sedang diancam oleh seorang napi, ralat, bukan kedengarannya, tapi memang aku sedang di ancam seorang napi. Aku meringis kesakitan, tak sanggup berbuat banyak, dan akupun menuruti permintaan napi sialan itu. Setelah penumpang bus turun dan kini hanya ada aku dan si napi sialan itu, barulah ia bicara.
“Dengar, aku tak punya sepeserpun uang, sedang aku butuh uang untuk transportasi kerumah nenekku. Intinya, aku butuh uang” katanya lagi setengah berbisik tepat di telinga kiriku.
Aku langsung memberikannya sujumlah uang, lalu hanphone, mp3 dan jam tangan kesayanganku.
“Ambil semuanya, dan lepaskan aku” kataku lantang namun sebenarnya takut setengah mampus.
“Aku bisa saja merampas semuanya sampai tak bersisa kalau aku mau, tapi aku bukan orang jahat, aku cuma butuh uang transportasi, dan… aku juga tidak percaya kamu. Jadi aku harus mengikutimu untuk memastikan kalau kamu tak berbuat macam-macam”
“HAH, TADI KAMU JANJI GA AKAN NGELIBATIN AKU, DASAR PENIPU!!!” teriakku lantang.
“Stt pelankan suaramu!!” bisiknya sambil membekap mulutku.
“PENIPU…!!” teriakku lagi.
Entah keberanian untuk meneriaki napi itu datang dari mana, yang jelas aku sangat emosi kali ini.
“Diam! aku bilang pelankan suaramu, jangan sampai aku berbuat kasar dan melukaimu, turuti saja perintahku” ancam napi sialan itu.
Aku akhirnya turun dari bus dengan langkah tergesa-gesa, dan meninggalkan sejumlah uang, mp3 serta jam tangan. Napi itu mengikutiku dan berusaha mengejarku, setelah akhirnya kami sejajar, dia membisikku.
“Jangan buat langkah mencurigakan, jangan macam-macam, aku akan berjalan di belakangmu. Jika ada orang atau polisi yang curiga, aku akan berlari dan aku janji tidak akan melibatkanmu. Jadi jalanlah yang benar dan bawa kembali barang-barangmu (memasukkan kembali uang dan barang milikku kedalam tas yang aku gendong)”.
Aku kembali berjalan, kali ini rasa takutku memuncak, melipat ganda. Saat sedang menunggu angkot, tiba-tiba, segerombolan pria nakal menggodaku dengan tangan yang mulai usil.
“Lepas!” aku berteriak sambil menghentakkan tangan lelaki nakal tadi.
Tuhan, kesialan apa lagi kali ini. Kenapa ada begitu banyak cobaan yang Kamu berikan hari ini, ini terlalu berlebihan Tuhan, aku tak sanggup, ucapku dalam hati.
“Aku bilang lepas, jangan macam-macam kalian hah!” aku berteriak sejadi-jadinya dan tak terasa aku mulai menjatuhkan air mata sebelum akhirnya terisak. Lelaki nakal itu berbondong-bondong mendatangiku dan mulai melemparkan beberapa makian, jalang lah, ayam kampus lah, aku semakin terisak.
Ketika salah seorang pemuda nakal itu hendak menarik kerah bajuku, tiba-tiba saja…
“Buummmmmpt” ada yang memukul duluan wajah si pemuda nakal tadi, walhasil pemuda tadipun terhuyung ketanah dan berlari kabur di susul temannya yang lain.
Aku terkejut setengah mampus, ketika kudapati pahlawan yang menyelamatkanku adalah seorang napi, ya.. napi sialan yang mengancamku tadi.
“Sudah aku bilangkan, aku bukan orang jahat” katanya lantang dan berlalu begitu saja.
“Apa!!! apa tadi katanya, dia bukan orang jahat? hah..dari tadi dia mengancamku dan melibatkan aku dia bilang bukan orang jahat? yang benar saja!” kataku bicara pada diri sendiri.
“Seorang napi tapi bukan orang jahat? NONSENSE BANGET!!!!!!” gerutuku.
Aku berada di dalam angkot saat ini, ya.. masih diikuti napi sialan itu. Kali ini kami duduk berhadapan di pojok tempat duduk angkot itu, aku duduk dengan kepala menunduk terkulai kebawah tak bertenaga. Napi itu, wajahnya masih terbungkus topi dari jaket hitamnya, ia pun tertunduk, takut ada yang melihatnya, tapi matanya awas sekali, bergerak kemana-mana. Selang beberapa menit kemudian, kakiku di senggol si napi tadi, dan lamunanku pun buyar seketika.
“Ponselmu bunyi” katanya
Aku segera mengangkatnya.
“Nyampe mana mbak?” terdengar suara mama diseberang telepon sana.
“Nyampe solo ma, ini lagi di angkot 10 menitan lagi nyampe ko” jawabku pelan.
“Oh, yaudah alhamdulilah kalo gitu, mama sama papa takut kamu  kenapa-napa” mama mulai terdengar seperti terburu ingin menutup telepon.
“Ma..” panggilku seperti sedang kutahan mama untuk tidak menutupnya.
“Ya, kenapa, ada apa?” tanya mama panik
“Aku..aku..” aku memberanikan diri menatap napi itu, dan ia pun ternyata sedang mengawasiku, kami saling tatap untuk beberapa menit.
“Kenapa mbak, apa ada preman yang mengganggumu di terminal?” terdengar mama menyelidik penuh cemas.
“Ma…ma…ma..hiksss” aku kembali hanya bisa terisak.
“Aku kangen mama” sangkalku akhirnya.
tuutut tuttttt telponpun akhirnya di tutup.
“ha ha..anak mama” kata napi itu tiba-tiba.
Apa sekarang napi sialan itu sedang meledekku?
%%%
Di dalam angkot, aku menyusun sebuah rencana, sebuah strategi untuk melarikan diri. Ya, aku berniat untuk kabur dan segera berlari. Aku tidak sudi menampung seorang napi, apa lagi nenek tengah sakit. Aku tidak mau menambah masalah keluraga, aku tidak mau. Sama sekali tidak lucu pulang kekampung membawa seorang narapidana. Ya, rencanaku sudah matang, aku akan turun di gang mawar sebelum sampai di gangku, di sana ada sebuah kebun yang gelap, aku rencananya akan kabur dan masuk kedalam kebun itu lalu mencari jalan pintas untuk tembus ke gang menuju rumahku. Yap, fix aku akan kabur kesana!
Saat aku turun dari angkot, sesuai rencana, aku berhenti di gang mawar. Saat aku suruh si napi itu membayar ongkos, saat itulah aku kabur. Aku berlari sekencang-kencangnya, berlari dan aku masuk kedalam hutan itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk kabur dan menyelamatkan diri sendiri juga keluargaku. Hah.. huh.. hah…napasku terengah-engah, aku kelehan, dan kuputuskan untuk berhenti di bawah pohon beringin raksasa. Aku mulai menenangkan diri, mengatur napas agar aku bisa segera melanjutkan pelarianku. Saat aku akan berlari kembali, tiba-tiba saja seperti ada yang menyengat kakiku.
“Akh..!!!!” jeritku kesakitan.
Aku langsung menutup mulutku, merintih menahan sakitku. Tapi tiba-tiba saja…..
“Ckckck mempersulit diri sendiri” ujar si napi yang akhirnya menemukanku.
Aku kesusahan untuk berjalan, sepertinya kakiku bengkak dan terluka parah. Tuhaaaan …tolong aku.
Tanganku di tarik hingga badanku membentur pohon beringin, aku meringis kesakitan. Napi itu mendekat dan mengangkat kepalaku dengan tangannya.
“Pakai yang halus tidak mau, jangan salahkan aku kalau cara mainku kasar” katanya berteriak di depan wajahku.
“Dengar! aku adalah seorang pembunuh, dan pemerkosa anak gadis orang. Makanya kenapa aku di tahan, jangan sampai aku melakukannya padamu? mengerti..?!!!!” teriaknya.
Aku terkulai lemas, bukan, bukan karena rasa sakit di kakiku, melainkan rasa takut yang sebentar lagi mampu meledakkan jantungku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan menuruti perintah napi sialan itu.
“Lurus apa belok?” tanyanya sambil memapahku, semakin menambah kemustahilan untuk kabur karena pinggangku ada dalam cengkeraman tangannya yang panjang dan kuat.
“Lurus” timpalku lemas.
%%%
Setibanya dirumah.
“Dewi..!!” mama berteriak histeris melihat aku di papah.
Kami bertiga kumpul di ruang makan, aku, mama, dan tentu saja si napi sialan. Papa jagain nenek dirumah sakit, mama sama papa ship-shipan jagain nenek karena mamalah anak satu-satunya dari nenek.
“Gak bilang kalo pulang bareng…siapa ini?” kata mama memulai pembicaraan.
“Temen ma, maaf tadi kita juga dadakan ko” kataku mulai berdusta.
“Oh..siapa namanya wi?” tanya mama.
“Napi” jawabku
“Hah?” mama terkejut
“Eh, maksudnya rafi ma, iya rafi” ralatku yang sebenarnya dustaku selanjutnya.
“Dani titip salam buat mama sama papa”
“Dia sehat kan wi?” tanya mama cemas.
“Sehat ko mah”
Malam hari saat aku ingin tidur, timbul ketakutan yang luar biasa aku rasakan. Aku takut kalau tiba-tiba aku terbangun, mendapati kondisi rumah yang berantakan, atau mendapati mama yang sudah tak bernyawa atau malah jangan-jangan…. aku yang sudah tidak perawan lagi, TIDAAAAAAAAAKKKK!!!!
“Ma, jendela kamar  sama pintu kamar ga ada yang rusak kan kuncinya?” tanyaku waswas.
“Ga ada ko, bener semua, kenapa emang?” selidik mama
“Ya.. waspada aja ma, takut ada maling, sekarang banyak orang jahat lo ma”
“Tumben” mama mengerutkan kening keheranan.
“Ya apa salahnya si waspada, mama jangan lupa kunci jendela sama kamarnya ya” perintahku yang tidak mau ada apa-apa menimpa mama.
“Iya, siap” jawab mama sambil senyum-senyum.
Pukul 23.00 Aku masih terjaga, meski sebenarnya sangat ingin mata terpejam. Tapi, rupanya rasa takutku lebih besar dari pada rasa kantukku. Aku keluar kamar, untuk memastikan semua baik-baik saja, aku mengintip kamar depan, kamar yang malam ini dihuni oleh napi sialan itu. Saat aku melewati kamar itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
“Kenapa? penasaran mau lihat tidurnya narapidana, hm..?” katanya menyembul dari balik pintu, mengenakan pakaian papa.
“Ish…” aku memelototinya, tapi dia malah balik menatap mataku tajam, kalahlah aku.
“Atau… jangan-jangan mau nyobain di kelonin napi, iya?” katanya lagi meledek puas sekali.
“Heh, suruh siapa boleh make baju papa hah? COPOT SEKARANG JUGA!!!!” perintahku sambil memberanikan diri untuk memelototinya kembali.
“Mama yang suruh” katanya dengan tatapan liar, mesum sekali.
“Kalo kamu nyuruh copot ya aku copot” lanjutnya sambil menyopot baju di depan mataku.
Aku mencoba untuk tidak goyah, tidak ingin terlihat takut di depannya.
“Heh..janji kamu ga bakal macem-macem sama keluragaku?!” kataku memastikan.
“CKCKCK masih tidak percaya. Begini saja,  aku masuk, kamu kunci aku dari dalam, simpan baik-baik  kuncinya” katanya lantang.
“Oke, begitu lebih baik” kataku menahan denyut jantung yang berpacu tak terkendali.
“Tidurlah yang nyenyak, besok kita jalan-jalan” katanya sebelum kemudian menutup pintu.
%%%
Keesokan harinya.
Saat kami berkumpul di meja makan, mama berbincang akrab sekali dengan napi sialan itu, dan lupa kalo ada aku di sana.
“Aku pinjem Dewinya dulu ya bu” pinta si napi tiba-tiba manis sekali.
“Iya” mama memberi  ijin.
“Emang aku mau kemana?” tanyaku penasaran.
“Jenguk nenekku” katanya tersenyum.
“Tapi ma…” aku berniat menolak namun aku tau sia-sia.
Kami berdua pun pamit, dan sungguh.. ini sama sekali tidak lucu.
“Ayo naik” katanya.
“Kenapa gak naik angkot aja si, manja banget naik motor segala, lagian itu vespa kan udah tua ntar kalo ngepot tengah jalan kan malah brabe” kataku panjang lebar, karena terkejut melihat si napi akan memboncengku menggunakan vespa tua taun 60an punya almarhum kakek.
“Gak papa Dewi, katanya si Rafi jago pake vespa ko” bela mama akhirnya.
Kamipun melesat menggunakan vespa, ya tentu saja.. ini pertama kalinya aku di bonceng seorang pria menggunakan vespa, apalagi dia seorang narapidana, patut di catat di rekor muri pokoknya.
Setibanya disana.
“Aku tunggu disini ya?” ujarku tak mau terlibat terlalu jauh.
Napi itu menarik tanganku, berani sekali ia menyeretku. Kami pun masuk, sebelum sempat mengetuk pintu.
Suasananya sepi, tapi rumah ini terlihat rapih terawat. Di dindingnya tergantung beberapa poto, satu diantaranya ada si napi silalan itu, aku memilih untuk duduk di ruang tamu. Si napi sialan itu menuju sebuah kamar, sepertinya sedang mencari seseorang, neneknya mungkin.
“PRAAAAAANG!!!!” tiba-tiba terdengar suara pecahan beling yang sengaja dilempar.
“PERGI KAMU, AKU NDAK PUNYA CUCU SEORANG NAPI, KAMU BUKAN CUCUKU!!!!” teriak seseorang yang sepertinya nenek si napi.
“Nek, percaya sama aku sekali ini saja. Aku ndak melakukan itu nek , aku di fitnah” terdengar pembelaan dari si napi.
“KAMU TAU AKU WIS CAPE MAS, KARO OMONGANE UWONG”
“Aku ndak peduli omongan orang nek, asal nenek percaya sama aku itu aja udah cukup nek. Bohong kalo aku bukan cucu nenek, fotoku masih nenek pajang di depan, itu berarti nenek masih sayang aku”
              
“Mas, aku percaya, kamu ga mungkin.. ora mungkin dadi wong jahat, aku ini ngerti kamu dari kecil. Bukan manusia mas yang fitnah kamu, bukan manusia!!!!” terdengar isakan sekarang.
“Nenek jaga diri baik-baik, jangan samapi sakit, harus sehat nanti kalo aku bebas”
%%%
Kami berdua terdiam di jalanan, meski sebenarnya ada begitu banyak tanda tanya berkelebat di kepalaku.
“Kenapa?” tanya si napi, melihat ekspresi mukaku di kaca spion.
“Mama sms, aku suruh jaga nenek malam ini” ujarku.
Aku menelpon mama akhirnya.
“Tapi ma, masa aku jaganya sendiri?” kataku di telpon, tapi tiba-tiba saja hanphoneku di rebut si napi.
“Tenang bu, aku jagain dewinya” katanya pada mama.
Aku berniat merebut kembali ponselku, tapi dia terlalu tinggi, jadi aku cuma bisa diam.
“Hey..aku mau merkosa juga pilih-pilih,  dan maaf..aku ga nafsu sama cewe kurus kaya kamu”  katanya berbisik kurang ngajar sekali.
Kami ada di rumah sakit sekarang, aku sengaja membiarkan papa supaya istirahat di rumah. Meskipun sebenarnya takut setengah mampus berduaan ditemani seorang narapidana.
Pukul 21.00 aku masih terjaga, aku keluar berniat mencari udara segar. Mataku penasaran ada dimana si napi sialan itu malam-malam begini.
“Kenapa, sekarang lebih takut hantu dari pada napi?” katanya tiba-tiba datang dengan sepuntung roko ditangan.
Aku mélengos, sebelum akhirnya tanganku seperti ada yang menahan.
“Aku mau cerita, duduk” ujarnya serius.
Aku kali ini menurut, dan duduk disampingnya.
“Dewi, sebenarnya aku bukan pemerkosa dan pebunuh seperti yang aku bilang waktu itu. Aku mengatakan begitu cuma agar kamu takut dan tidak macam-macam. Sebenarnya…aku kena fitnah orang, dan kamu tau, siapa yang memfitnah aku, dia adalah papaku sendiri Dewi, papa yang harusnya membesarkan dan menafkahi anaknya”.
“Trus, ibu kamu?” tanyaku hati-hati.
“Ibuku, dia sudah lama meninggal, aku dibesarkan oleh nenekku yang tadi. Dia adalah satu-satunya keluargaku, makanya aku sedih sekali kalau dia tidak percaya  padaku. Tidak peduli orang lain percaya atau tidak asalkan nenek percaya itu saja sudah lebih dari cukup”
“Kejahatan apa yang dituduhkan emang?”
“Narkoba” Katanya pelan sambil sedikit tersenyum.
“Papaku adalah pecandu dan pengedar narkoba Dewi” lanjutnya lirih.
Aku terdiam, hanya memandanginya. Merasa iba, merasa kalau manusia di sampingku ini bukan lagi seorang narapidana. Sungguh, aku mulai menaruh simpati padanya, pada keteguhan dan ketegaran hatinya, hati pemuda di sampingku ini.
“Yah..begitulah, jadi kamu tidak perlu takut berduaan dengan napi malam ini, karena napi ini sedang tidak berselera membunuh orang” katanya mulai tengil kembali.
Keesokan harinya setelah percakapanku malam itu, setelah rasa simpatiku pada napi itu, aku tidak menemukannya lagi, tidak di rumah sakit, tidak di kamar depan, juga tidak di motor vespa tua itu. Hanya sepucuk surat di bawah cangkir kopi sisa semalam, dan jaket hitam di tubuhku yang selalu napi itu kenakan untuk bersembunyi. Kemana dia, apa dia gila bepergian tanpa menggunakan jaketnya.
Seperti yang aku janjikan, aku pergi menyerahkan diri dan tak melibatkanmu Dewi. Terimakasih dan maaf untuk semua yang aku lakukan padamu dan keluargamu. Pesanku, jelaskan pada orang tuamu siapa aku, biar tidak ada dusta lagi dan aku benci kalau kamu berbohong gara-gara aku. Salam untuk mama kamu yang sangat hangat dan manis meski tidak tau asal usulku, juga buat papamu yang belum sempat bertemu. Oiya, semoga nenekmu lekas sembuh ya.
Jujur Dewi, aku senang bisa mengancam kamu HAHAHA. Oke, sampai jumpa di kehidupan yang selanjutnya :)
Aku sayang kamu Dewi.
by: Bang Napi
%%%
Aku melakukan apa yang napi sialan itu katakan, aku menjelaskan pada mama, papa, Dani, dan nenek kalau ada seorang narapidana menyelinap masuk dan menginap dirumah ini. Bahkan sempat ingin melukai cucu perempuan pemilik rumah ini, tapi ternyata gagal. Narapidana sialan, datang tak diudang pulang juga gak ketauan, aku bahkan tidak tau namanya. Setelah aku merasa simpati, aku mulai memanggilnya ‘lelaki tanpa nama’ bukan lagi ‘napi sialan’ seperti waktu itu. Dan hey, apa maksudnya dengan kalimat aku sayang kamu Dewi ????? NONSENSE!!!!!!!!

E      N      D





2 komentar:

  1. baguuus. posting cerita lain lagi dong Na

    BalasHapus
  2. heuheu makasi makasiii...
    iya itu diatas udah aku post ko, dibaca ya trus di komen :)

    BalasHapus